Aku dan Pena


Maaf, aku masih saja sok idealis dengan tulisan-tulisanku yang bagi orang lain barangkali sungguh sangat hiperbolis.

Entah sejak kapan aku senang menulis.
Seingatku, ketika lulus Taman Kanak-Kanak aku menulis cerita pertamaku tentang seekor angsa yang merayakan ulang tahun bersama teman-temannya di hutan. Sebuah fabel yang sangat sederhana dan aku sendiri tidak tahu artinya.
Aku melewatkan bangku Sekolah Dasar dengan banyak membaca majalah Bobo dan Panjebar Semangat-semua milik tetanggaku-dan beberapa novel anak-anak yang kutemukan di gudang sekolah-waktu itu sekolahku tidak memiliki perpustakaan. Sejak dulu aku menemukan kesenangan tersendiri dengan melihat dunia lewat buku-buku, entah itu dunia nyata ataupun dunia dongeng macam Oki dan Nirmala dengan tongkat ajaibnya.
Ketika masuk SMP, aku menjadi pengunjung setia perpustakaan meskipun tidak menyukai suasana di sana, terutama penjaga perpustakaan yang jarang tersenyum dan memasang muka masam seolah-olah habis membaca buku filsafat setebal 10 cm-baiklah, ini sedikit berlebihan. Waktu itu aku sangat menikmati kebersamaan bersama novel-novel lama, dan membaca sebanyak yang aku bisa, mulai dari Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Salah Pilih, Dian yang tak Kunjung Padam, Layar Terkembang, Atheis, Kalau tak Untung, Sengsara Membawa Nikmat, Katak Hendak Jadi Lembu, Dari Ave Maria ke jalan Lain ke Roma, Hati yang Damai, dan lain-lain. Aku banyak menulis cerpen-sebagian besar kutulis di kelas-dan pembaca setiaku adalah teman-teman sekelasku. Aku menulis untuk kepuasanku sendiri, dan cukuplah jika ada satu dua orang yang ingin membaca.
Aku masih setia dengan perpustakaan sampai SMA, dan aku lebih menyukai tempat itu sejak penjaga perpustakaan di sana begitu ramah dan juga hafal pada namaku-saking seringnya aku ada di sana. Aku melanjutkan membaca buku-buku yang belum kutemukan di SMP-Saman, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah, Di Kaki Bukit Cibalak, Dan Perang pun Usai, cerpen-cerpen Putu Wijaya, novel-novel N.H Dini- menamatkan Harry Potter dan Twilight, jatuh cinta pada tetralogi Laskar Pelangi, mengenal Dee lewat Supernova, berkenalan dengan Sutardji meskipun tidak mengerti sama sekali pada puisinya, dan menyukai majalah sastra Horison. Aku tidak pernah tahu apa-apa tentang sastra, aku hanya menikmatinya.
Tetap saja, aku masih suka menulis di kelas, apalagi jika mulai bosan pada pelajaran. Aku jarang menulis cerpen lagi. Sejak saat itu aku suka tulisan yang lebih pendek, entah itu bisa disebut puisi atau tidak. Aku menulis di halaman terakhir buku pelajaranku, di sobekan kertas, di belakang surat pemberitahuan dari sekolah yang sudah tidak terpakai.
Menulis selalu menyenangkanku. Bagiku aku bisa lebih banyak bicara lewat huruf-huruf yang kutuliskan. Aku selalu menyukai kenangan, dan bagiku menulis adalah salah satu cara untuk mengenang. Karena itu aku menulis tentang diriku sendiri: bagaimana aku, perasaanku, dan orang-orang yang pernah singgah atau sekedar lewat dalam hidupku. Jika seorang teman memintaku menulis tentang dia, perasaannya, apa yang dia alami, aku tidak pernah bisa. Aku hanya menulis sesuatu yang aku alami sendiri.
Menulis adalah dunia di mana aku bebas mengatakan apa saja tanpa orang lain bisa memahami sepenuhnya.
Bagiku, mereka lebih dari sekedar huruf-huruf yang berbaris di atas kertas.
Mereka adalah perasaanku.
Mereka mengungkapkan sesuatu yang kadang bahkan tidak bisa diucapkan.
Karena itu, aku selalu menulis jika aku merasakan kesenangan yang lebih ketika memikirkan seseorang. Bahkan, memikirkannya saja bisa membuatku menulis begitu banyak. Yah, silakan saja katakan aku berlebihan atau terlalu romantis. Mungkin begitulah adanya. Itu hanya salah satu caraku untuk mengagumi, untuk mengatakan bahwa aku menyukai. Itu saja. Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan jatuh cinta pada seseorang yang bahkan ketika melihatnya tidak ada satu kata pun yang ingin kutuliskan.
 Kau tidak pernah membuatku sedih, sampai kemarin, ketika aku mengetahui kenyataan dalam pikiranmu pernah terlintas-meskipun mungkin bukan seperti itu maksudmu-bahwa bisa saja aku tidak jujur dengan tulisan-tulisan itu. Aku tidak mengerti. Entahlah, tidak bisa tidak, aku ingin menangis. Tetapi ketika itu aku mengerti bahwa menangis tidak harus selalu berarti air mata. Untuk pertama kalinya aku mulai benar-benar berpikir. Apakah semuanya akan lebih baik jika aku tidak suka menulis? Apakah aku tidak akan terlihat terlalu aneh jika aku tidak suka menulis? Apakah orang-orang akan lebih mudah memahamiku jika aku tidak suka menulis? Apakah aku tidak akan menjadi begitu perasa jika aku tidak suka menulis? Apakah kau akan lebih percaya padaku jika aku tidak bicara lewat tulisan-tulisan?
Tapi tidak, aku tidak bisa berhenti menulis.
Apakah aku sendiri yang memutuskan untuk suka menulis? Apakah aku belajar untuk menulis? Tidak, itu kulakukan seperti seekor lebah menyukai bunga-bunga. Tanpa berpikir. Tanpa memilih. Memang seperti itulah seharusnya. Maka, aku menganggap ini pemberian dariNya untukku.
Tidak semua orang bisa mengalihkan perasaannya ke atas kertas. Tidak semua orang bisa begitu senang hanya dengan melihat dedaunan. Tidak semua orang bisa merekam kenangan dengan tulisan. Tidak semua orang bisa merayakan kata-kata. Dan aku bersyukur untuk semua itu. Aku tidak pernah menyesalinya, meskipun barangkali aku terlihat aneh di mata orang lain ketika aku memandangi langit dengan tatapan berlebihan.
Ketika mulai menulis tentang seseorang, aku selalu takut dia akan menjadi bosan. Tapi tak apa jika bosan, asalkan dia tetap percaya.
Bagiku, berdusta dengan puisi adalah sebuah kejahatan. Bagaimana tidak, jika pada hakikatnya semua tulisan ditulis untuk mengungkapkan perasaan. Lalu siapa yang bisa begitu tega menggunakannya untuk berdusta?
Jika kau mulai tidak percaya sekalipun, aku tidak akan berhenti menulis.
Aku biasa menulis tentang apa saja: hal-hal abstrak yang kurasakan, secangkir kopi, sebatang pohon kersen, bunga kamboja dan rumput di depan kampus atau sekedar cuaca pagi ketika aku memandang keluar lewat jendela. Aku tidak akan berhenti menulis hanya karena kau tidak percaya. Tapi barangkali, aku akan berhenti menulis untukmu.
Karena pada saat kau tidak lagi percaya, ketika itu berarti kau tidak mau lagi menjadi puisi.
Kebumen, 23 Juli 2012:21.27’

Comments

Popular Posts