Kebumen-Semarang (lagi)


Liburan kali ini harusnya cukup panjang untuk kita lewatkan bersama.
Meskipun aku masih sering bermalas-malasan, tapi aku senang bisa membantumu mencuci atau sekedar menyapu rumah. Sore harinya, kita memasak bersama. Kau akan mengajariku berbagai macam hal sampai yang terkecil: cara memarut kelapa yang benar, bumbu untuk memasak ini dan itu, bagaimana seharusnya sayuran ini dan sayuran itu dipotong. Aku tahu kau akan kebingungan harus memasak apa lagi karena aku tidak menyukai begitu banyak sayuran. Karena itulah kau sering bertanya apa yang ingin aku makan, sampai-sampai adik pernah iri karena mengira kau lebih sering menuruti keinginanku. Kemarin sore kita sudah berencana akan masak ini dan itu, tapi pagi bahkan belum menjadi siang ketika kabar itu datang: aku harus ke Semarang. Hari ini juga.
Kau hanya tersenyum sambil berkata,” Tidak apa, berangkat saja,” sementara aku sibuk mengeluh dan menyesalkan kenapa tidak seorang pun yang mengabariku sejak kemarin-barangkali semua orang berpikir bahwa tiap orang membuka internet setiap hari, tapi tidak: aku, misalnya. Akhirnya kukemasi juga barang-barangku sekenanya ke dalam tas. Kalau bukan karena senyuman dan kalimatmu, pasti aku masih marah-marah dan makin tidak bersemangat. Kau menyuruhku segera mandi sambil sesekali menanyakan barang ini dan itu yang mungkin lupa kubawa, karena aku begitu ceroboh dan pelupa.

Liburan kali ini harusnya cukup panjang untuk kita lewatkan bersama.
Berat rasanya ketika menjabat tangan dan mencium pipimu lagi, meskipun mungkin aku tidak akan tinggal lama di Semarang. Aku meminta maaf karena telah merepotkanmu. Tapi lagi-lagi kau tersenyum dan berkata: tak apa.
Ah..... Ibu.
Padahal aku sibuk memikirkan berapa lagi biaya yang harus kupakai untuk perjalanan kali ini dan perjalanan berikutnya sebentar lagi. Padahal aku memikirkan nanti sore kau harus memasak buka puasa sendiri. Padahal aku mengkhawatirkan Ami yang sedang sakit dan bisa saja menjadi begitu rewel. Padahal aku memikirkan akhir-akhir ini banyak yang ingin kau bagi denganku, setidaknya aku bisa mendengarkanmu meskipun tidak bisa membantu apa-apa. Tapi kau tidak pernah menahanku. Kau tidak pernah berkata tidak usah pergi. Kau tidak pernah mengeluh kenapa aku harus pergi lagi padahal baru lima hari tinggal di rumah. Itu semua bukan karena kau tidak ingin aku ada di rumah, tapi aku tahu kau tidak ingin melemahkan semangatku. Sama seperti selama ini kau tidak pernah memintaku pulang sebulan sekali atau menanyakan kapan aku akan pulang.
Sekali lagi, aku harus duduk berjam-jam dan menghirup bau bensin yang kadang-kadang membuatku pusing. Aku melewatkan banyak waktu dengan tidur atau mengamati pohon-pohon yang bergerak di luar jendela. Sesekali aku melihat morning glory, di halaman rumah pinggir jalan atau tumbuh liar di tanah-tanah kosong.
Bisku berhenti di terminal Magelang.
Aku membuka tasku, menemukan kau menyelipkan beberapa bungkus makanan kecil tanpa sepengetahuanku. Kita bahkan tidak pernah membeli makanan itu untuk dimakan di rumah, tapi kau membelikannya untukku. Tidak bisa tidak, seberapa kuat pun aku menahannya, aku menangis juga sambil melihat keluar jendela.
Terimakasih untuk semua pengertian dan dukunganmu padaku selama ini. Ada kewajiban yang harus aku penuhi di sini, dan setelah semuanya selesai, aku akan pulang, memasak bersamamu lagi seperti kemarin.
Semarang, 24 Juli 2012: 21.18’

Comments

Popular Posts