Mimpi
Pagi ini saya mengigau.
Sekitar pukul setengah 4 ketika saya
berteriak memanggil ibu saya dan terbangun dari mimpi buruk. Ibu saya datang
dan bertanya ada apa sementara saya hanya bergumam, masih terbayang kejadian
dalam mimpi yang sama sekali tidak menyenangkan. Ibu menenangkan dengan memijat
pelan tangan saya sebelum kemudian keluar kamar setelah saya berkata saya
baik-baik saja.
Nyatanya saya tidak bisa tidur lagi.
Saya beranjak dari kamar menuju dapur,
menemukan sepagi itu bapak dan ibu sudah duduk berdua dan tengah
memotong-motong kangkung untuk disayur. Mereka bertanya apa yang terjadi dan
saya akhirnya menjawab, “Mimpi buruk.” Saya ingat jelas bagaimana mimpi itu:
rumah kami terbakar, dimulai dari kamar tidur orang tua saya dan merambat ke
atap dapur. Saya bahkan ingat bagaimana api itu menyala-nyala –mengingatkan
saya pada kebakaran toko di depan kos saya di Semarang.
Reaksi bapak dan ibu malah di luar dugaan.
Serempak keduanya menyahut: “pertanda baik.” Saya hanya bisa melongo. Ternyata
menurut kepercayaan orang Jawa, memimpikan api adalah pertanda akan datangnya
hal baik. Sungguh kontras dengan ketakutan yang saya rasakan bahkan setelah
saya sudah bangun dan sadar bahwa itu hanya sebuah mimpi.
Ibu tersenyum dan berkata, “Ini pertanda
kamu akan diterima.”
Saya tidak menjawab.
Pengharapan ibu mengacu pada seleksi yang
tengah saya ikuti –baru sampai tahap pendaftaran. Saya mengambil tempat di luar
kota karena tempat tinggal kecil kami tidak membuka seleksi itu. Jujur, separuh
hati saya memang ingin diterima. Selain bisa membuat saya lebih mandiri, saya
yakin hal itu bisa membahagiakan kedua orang tua saya. Saya masih ingat
bagaimana rasanya menjadi pengangguran yang sangat menyesakkan –padahal waktu
itu baru 2 minggu. Rasanya sangat berat membebani orang tua sekalipun mereka
selalu berkata segala sesuatu ada proses dan jalannya masing-masing, dan mereka
tidak pernah merasa keberatan menanggung hidup anaknya karena itu memang
kewajiban mereka. Tapi mengingat tempat itu berada jauh di luar kota, saya gamang.
Katakanlah saya melankoli, terlalu banyak
memakai perasaan, pengecut, anak mama atau apapun.
Sudah empat tahun saya menjadi anak kos dan
merasakan pengalaman hidup jauh dari orang tua. Usia saya sekarang sudah 23 dan
sebagai perempuan normal, saya ingin menikah 2 atau 3 tahun lagi. Saya pernah
berpikir untuk merantau lagi,keluar dari kota kecil kami yang bahkan tidak
memiliki mall. Tapi ketika saya sudah
pulang, melihat kedua orang tua saya setiap hari, saya sadar saya hanya ingin
menghabiskan waktu sebelum benar-benar pergi dari rumah dengan berada di dekat
mereka saja. Dari hati saya yang terdalam, saya tidak bisa meninggalkan kota
ini, desa kecil dan tempat sederhana yang saya sebut rumah.
Ibu saya sampai berkata: “bahkan nabi
Muhammad saja hijrah dari Mekah ke Madinah, masa kamu tidak mau merantau keluar
kota”.
Ya. Entah apa yang ada di kepala saya
sampai saya merasa sangat berat jika seandainya saya benar-benar harus pergi,
bisa jadi selamanya tidak akan tinggal lagi di tempat ini.
Hal-hal sederhana saja bisa membuat saya
berpikir ratusan kali.
Kalau saya tinggal di luar kota, menjadi
anak kos lagi, saya tidak akan melihat orang tua saya setiap hari. Tidak akan
ada yang membuatkan kopi untuk saya setiap pagi. Saya tidak akan mendengar
rengekan adik-adik saya. Tidak akan ada yang merawat saya jika saya sakit
–setidaknya tidak seperti yang ibu saya lakukan. Saya tidak akan bisa makan
masakan ibu saya setiap hari. Saya tidak bisa merasakan pelukan ibu ketika saya
ingin ditemani tidur.
Entah apakah ini sebuah keegoisan atau
bukan.
Saya hanya ingin membantu ibu mencuci baju
setiap hari agar punggung ibu yang kadang-kadang sakit tidak akan kumat lagi.
Saya ingin bisa bercerita apapun pada ibu setiap hari dan sebaliknya, ibu bisa
bercerita pada saya. Sejak dulu saya terbiasa menjadi tempat berbagi ibu
tentang masalah keluarga atau hal remeh temeh macam kenaikan harga
sayur-sayuran. Saya ingin membantu orang tua saya mengawasi kedua adik saya
yang kadang-kadang membuat kami khawatir. Saya ingin mendengar suara bapak
melantunkan adzan di masjid dekat rumah. Saya ingin memijat punggung dan bahu
bapak setiap kali bapak kelelahan usai
pulang bekerja. Saya ingin ada di rumah sebelum saya menikah, tapi saya juga
ingin menjadi anak yang mulai belajar mandiri dan sedikit membalas kerja keras
orang tua saya yang sudah mengirim saya ke bangku kuliah.
Karena itu pagi ini saya tidak mengatakan
apapun ketika bapak dan ibu mengatakan tentang pertanda baik.
Barangkali saya berdosa karena saya
terkesan tidak bersungguh-sungguh melakukan semua ini. Tidak, bukannya saya
tidak serius. Saya hanya bimbang hingga pada titik saya tidak bisa menentukan
pilihan lagi. Ketika hendak berbicara pada Tuhan, saya tidak tahu mana yang
harus saya mintakan. Kedua sisi dalam kepala dan batin saya saling berperang dan
tumpang tindih. Pada akhirnya saya tidak tahu lagi dan hanya bisa pasrah pada
takdir. Saya yakin langit lebih tahu mana yang lebih baik bagi saya dan saya
akan berusaha menerima apapun hasilnya.
Kebumen, 17
September 2014
Comments
Post a Comment