aku dan senyummu
Aku
Aku adalah cangkir kopi retak yang kau tuangi coklat hangat setiap pagi.
Aku adalah langit senja yang kau jumpai usai fajar tiba.
Aku adalah remah roti yang tersisa di sudut bibirmu.
Aku adalah sepatu usang yang teronggok di lemari tapi masih sayang untuk kau buang.
Aku adalah nomor kesekian, pemain bangku cadangan yang berharap bisa ikut ke dalam permainan.
Aku adalah lagu yang tidak kau hafal liriknya sekalipun sering kau nyanyikan.
Sementara kau,
kau adalah apa saja yang selalu aku pikirkan.
23 September 2014
Senyummu
Barangkali senyummu terbuat dari sepotong senja. Ada kesenduan, perasaan melankolis, dan semacam keredupan sinar matahari yang penghabisan. Samar-samar ada pula bunyi kepak sayap burung, deru ombak dan kapal layar kecil yang hampir karam. Melihat itu, aku bimbang antara ingin menangis atau mengenang.
Barangkali senyummu terbuat dari serumpun kembang. Ada banyak warna sekalipun teduh dan hampir tersembunyi di balik waktu. Untuk melihatnya saja aku perlu menunggu sekian lama –seperti menanam, menyemai, memupuk juga membasahinya dengan air mata.
Barangkali senyummu terbuat dari gerimis sebelum hujan, sewaktu langit meremang dan angin membelai dengan dinginnya pelukan. Aku duduk di dekat jendela –merenung, menyadari betapa air hujan mampu meresap begitu jauh. Bukan hanya ke dalam hati, tapi juga ke dalam hati.
Duhai, bagaimanakah mengeringkan dada yang basah oleh luka?
Barangkali senyummu terbuat dari gugusan kunang-kunang. Pijarnya menyala kecil tapi cukup untuk menerangi. Jika aku sesat dalam gelap malam, setidaknya nyala itu bisa menuntunku kembali. Cukupkah aku saja untuk kau miliki?
Barangkali senyummu terbuat dari desau dedaunan. Ada melodi asing yang datang dari jauh, memalu-malu telinga serupa lembar-lembar yang terkena angin hingga bergesekan. Sebuah suara yang terlalu sunyi di tengah keramaian, sekaligus terlalu sepi di tengah keheningan.
Jadi sebenarnya terbuat dari apakah senyummu itu?
Hingga aku lemah dan kalah, jatuh berkali-kali.
Ah.
Barangkali Tuhan menciptakan senyummu dari sejumput puisi.
15 Oktober 2014
Aku adalah cangkir kopi retak yang kau tuangi coklat hangat setiap pagi.
Aku adalah langit senja yang kau jumpai usai fajar tiba.
Aku adalah remah roti yang tersisa di sudut bibirmu.
Aku adalah sepatu usang yang teronggok di lemari tapi masih sayang untuk kau buang.
Aku adalah nomor kesekian, pemain bangku cadangan yang berharap bisa ikut ke dalam permainan.
Aku adalah lagu yang tidak kau hafal liriknya sekalipun sering kau nyanyikan.
Sementara kau,
kau adalah apa saja yang selalu aku pikirkan.
23 September 2014
Senyummu
Barangkali senyummu terbuat dari sepotong senja. Ada kesenduan, perasaan melankolis, dan semacam keredupan sinar matahari yang penghabisan. Samar-samar ada pula bunyi kepak sayap burung, deru ombak dan kapal layar kecil yang hampir karam. Melihat itu, aku bimbang antara ingin menangis atau mengenang.
Barangkali senyummu terbuat dari serumpun kembang. Ada banyak warna sekalipun teduh dan hampir tersembunyi di balik waktu. Untuk melihatnya saja aku perlu menunggu sekian lama –seperti menanam, menyemai, memupuk juga membasahinya dengan air mata.
Barangkali senyummu terbuat dari gerimis sebelum hujan, sewaktu langit meremang dan angin membelai dengan dinginnya pelukan. Aku duduk di dekat jendela –merenung, menyadari betapa air hujan mampu meresap begitu jauh. Bukan hanya ke dalam hati, tapi juga ke dalam hati.
Duhai, bagaimanakah mengeringkan dada yang basah oleh luka?
Barangkali senyummu terbuat dari gugusan kunang-kunang. Pijarnya menyala kecil tapi cukup untuk menerangi. Jika aku sesat dalam gelap malam, setidaknya nyala itu bisa menuntunku kembali. Cukupkah aku saja untuk kau miliki?
Barangkali senyummu terbuat dari desau dedaunan. Ada melodi asing yang datang dari jauh, memalu-malu telinga serupa lembar-lembar yang terkena angin hingga bergesekan. Sebuah suara yang terlalu sunyi di tengah keramaian, sekaligus terlalu sepi di tengah keheningan.
Jadi sebenarnya terbuat dari apakah senyummu itu?
Hingga aku lemah dan kalah, jatuh berkali-kali.
Ah.
Barangkali Tuhan menciptakan senyummu dari sejumput puisi.
15 Oktober 2014
Comments
Post a Comment