Keberangkatan


Aku sudah mengatakan berkali-kali padanya untuk tidak membawakan makanan apapun untukku. Tasku sudah terlalu penuh. Kalau ingin makanan, aku bisa membelinya sendiri begitu sampai di kos. Tapi dia tetaplah seperti biasanya. Begitu kubuka tasku, dia sudah menyelipkan sebungkus biskuit yang bahkan tidak pernah dia beli untuk dirinya sendiri.
Ya, dia tidak akan membiarkanku pergi tanpa membawa setidaknya sebungkus roti. Dan kalaupun tidak ada sebungkus roti, sebungkus nasi dan lauk menjadi bawaan wajib untukku. Juga ditambah sebotol air. Dia tidak akan membiarkanku membeli sesuatu yang sebenarnya bisa dibawa dari rumah. Begitulah. Sore hari sebelum hari keberangkatanku, dia akan membeli telur untuk digoreng mata sapi seperti kesukaanku. Dia membungkuskan nasi dan lauk. Menyiapkan sebotol air. Dan setidaknya sebungkus cemilan. Kalau aku tidak mencegahnya, dia tentu akan membawakan lebih banyak lagi.
            Begitu sarapan siap, dia akan menyuruhku makan. Sejak dulu dia tidak pernah membiarkan anak-anaknya pergi sekolah atau pergi ke manapun tanpa sarapan. Jika aku berani pergi tanpa memakan sarapanku, biasanya dia akan marah. Sejak aku tahu alasan kenapa dia begitu, sebisa mungkin aku tidak pernah meninggalkan sarapanku sebelum pergi. Dia bilang, jika aku pergi sebelum makan, dia akan merasa bersalah. Sementara dia sudah sarapan dan makan siang, aku masih berada di sekolah dan dia selalu berpikir bahwa aku pasti kelaparan. Jika karena sesuatu aku harus pergi tanpa sarapan, dia selalu berpesan agar aku membeli nasi di kantin. Begitulah. Sampai sekarang aku selalu sarapan sebelum berangkat kuliah.
Ketika aku bersiap-siap, dia akan menanyakan barang-barang yang seharusnya kubawa sambil mengerjakan hal-hal lain. Charger hp. Charger netbook. Dompet. Baju ini. Baju itu. Kenyataannya, aku memang sering meninggalkan barang-barang kecil di rumah. Sementara itu dia juga akan menyuruh Ayah menyiapkan motor untuk mengantarku ke tempat menunggu bis.
Setelah menggendong tas dan berdiri di depan pintu, aku mencium tangan dan kedua pipinya. Kemarin itu aku ingin menangis. Hampir sebulan aku tinggal dan setiap hari membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah yang biasa dikerjakannya sendiri. Setiap pagi aku selalu menjadi asistennya di dapur, meskipun sambil sesekali kusela menonton tv. Setelah sarapan aku mencuci piring dan mencuci baju. Jika aku tidak di rumah, dia harus mengerjakan semua itu sendiri. Kelihatannya ringan, tapi ditambah seorang adik kecil yang sering rewel dan seorang lagi yang sudah besar tapi pemalas, aku tahu dia pasti lelah. Dia akan tertawa jika aku mengatakan hal itu sambil berkata, “ Kalau kau tidak di rumah nyatanya aku juga bisa menyelesaikan semua itu sendiri.”
Pada waktu-waktu seperti ini, ketika aku duduk di kamar dan tidak punya pekerjaan, aku teringat padanya. Jika di rumah aku bisa membantunya mengerjakan sesuatu. Tapi aku begitu jauh. Yang bisa kulakukan di sini adalah melakukan apa yang harus kulakukan dengan sebaik-baiknya. Hingga nanti, ketika waktunya tiba, aku bisa berdiri di depannya dan berkata, “ Ini aku, putrimu. Sekarang kau bisa bangga padaku, Bu.”

Semarang, 27 Februari 2012: 16.24’


Comments

Popular Posts