Ibu, Aku Mau Dia


Kau membelai rambutku. Seperti biasa, seperti setiap aku merebahkan kepala di atas pangkuanmu. Kehangatan dari jari-jarimu masih seperti dulu. Tidak berubah sama sekali, kecuali mungkin kerutan-kerutan di tanganmu yang kini lebih terasa jelas. Aku seperti menemukan tempat paling aman di dunia, tempat aku bisa pulang setiap waktu.
“Kau sudah dewasa sekarang,” katamu seperti kepada dirimu sendiri, ”Kau bukan lagi gadis kecil yang pantas merengek minta arum manis.”
Aku tertawa kecil. Ah, Ibu. Apakah pernah seorang ibu menganggap bahwa anaknya benar-benar sudah dewasa? Sudah bisa mengambil keputusan sendiri? Menurutku seorang ibu adalah manusia yang selalu merasa cemas sepanjang waktu karena memikirkan anak-anaknya.
Malam merayap kian jauh.
Malam-malam bersamamu tidak pernah panjang. Kita biasa mengisinya dengan cerita hingga barangkali bisa menjadi bergelas-gelas kopi. Tapi kita hanya minum kopi di pagi hari. Aku merasa tidak pernah manja, tapi barangkali saja tanpa sadar aku sudah menjadi seperti itu.
Kau masih mengusap-usap rambutku.
“Sudah hampir tiba saatnya Ibu mempercayakanmu kepada seseorang. Orang yang bisa menjagamu. Orang yang benar-benar bisa Ibu percayai.”
Aku tetap diam sambil memegangi lututmu. Dalam benakku melintas bayangan wajah-wajah. Melintas deretan peristiwa. Melintas nama-nama. Yang tidak satu pun tidak kau ketahui. Kau adalah buku sejarahku. Kau tahu, lebih tahu dibanding diriku sendiri, bahwa ternyata aku masih sering bersikap kekanak-kanakan.
“Dia orang yang sederhana. Dengan pikiran sederhana. Dan mencintaimu dengan sederhana juga.”
Aku membatin ulang kalimat-kalimatmu. Orang sederhana. Pikiran sederhana. Mencintaiku dengan sederhana. Maka aku akan bahagia dengan sederhana. Menyederhanakan hidup. Kau selalu lebih percaya pada hal-hal yang sudah tampak di depan mata. Kau tidak suka khayalanku yang terlalu jauh dan barangkali bagimu mengada-ada. Hanya saja kau tidak pernah mengatakannya padaku. Karena kau selalu mendengarkanku dengan seratus telinga.
“Ibu menyukainya.”
Walaupun tidak bisa melihat wajahmu, aku yakin kau tersenyum ketika mengucapkan kalimat itu. Aku berpikir barangkali kau sedang membayangkan aku bahagia dengan orang baik yang sederhana itu, orang yang kau sukai, dan mungkin juga sudah kau percayai.
Ibu membayangkan kami berdiri berdampingan, begitu serasi seperti yang dikatakan orang-orang. Bagimu aku harus berpikir realistis jika sudah mengaku sebagai orang dewasa. Jika belum bisa, berarti aku masih kecil dan seperti anak-anak. Kau lalu membayangkan kami berkunjung di hari libur, membawa oleh-oleh dan anak-anak yang gemuk dan lucu. Cucu-cucumu.
Apa aku juga ikut membayangkannya?
Tanpa sadar aku mengeleng-gelengkan kepala. Ibu, tidak ada gelombang pasang di dadaku ketika menatapnya. Tidak ada yang berbeda sehingga aku bahkan tak akan sanggup menulis sebaris puisi pun untuknya. Tidak ada apapun yang bisa kuceritakan padamu.
Malam merayap kian dalam.
Kali ini aku tidak ingin bercerita apapun padamu, Bu. Aku hanya ingin merasakan belaian ini, menghayati kehangatannya. Kehangatan yang selalu memberi kekuatan dan keyakinan bahwa aku bisa menghadapi apapapun. Karena aku memilikimu. Tempat pulang yang selalu setia menunggu.
Aku memejamkan mata.
Dan aku melihatnya. Dia berdiri di kejauhan, samar-samar. Bahkan aku pun tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tapi bagaimanapun juga aku tersenyum sambil berlari menyongsong. Aku berlari dengan letupan-letupan kecil di perutku yang seperti kemasukan kembang api. Tapi anehnya, semakin darahku mendidih karena senang, kakiku berlari makin lambat. Sekarang aku bisa melihat bahwa gerimis yang jatuh seperti benang itu ternyata jatuh sebagai butir-butir. Waktu melambat seakan hendak berhenti. Dia telah melebur gerimis itu. Meleburnya bersama sebuah lambaian tangan yang lembut.
Dan lihatlah, Bu.... Dia membuat ribuan bunga bermekaran di sekelilingnya. Gardenia, scarlet carson, krisan, kenanga, tulip, teratai, sakura, calla lily, kenikir, morning glory, anggrek, dandelion, dan entah bunga apa lagi yang aku tidak tahu namanya. Dan aku ingin menulis puisi sekarang juga.
“Ibu,” bisikku, “Aku mau dia. Dia yang melebur gerimis. Dia yang membuatku ingin menulis puisi. Dia, lelaki yang membuat ribuan bunga bermekaran bersamanya.”
Kau tidak menjawabku. Aku mengerti kau belum bisa memahami, tapi aku yakin, seperti biasanya, kau selalu akan berusaha menerima.

Kebumen, 22 Februari 2012: 22.00’
kutulis ini ketika mengingatmu, rei

Comments

  1. "Eomma, I just want Kyu! apapun aku rela asalkan demi Kyu! aku sayang Kyu! aku cinta Kyu! tapi aku lebih mencintaimu. aku selalu berfikir aku tak bisa hidup tanpa Kyu... tapi ternyata aku salah. Kaulah nafas hidupku. eomma, saranghae.... jeongmal saranghamnida" :'(

    haha... suka curhat sama "emak" juga yak.... nado nado... :p curhat all abot Kyu. kegalauanku tentang kyu. rasa sayangku untuk kyu. T___T


    Kyaaaaaaaaaaa Ismiiiiii.... akhirnya aku bisa komen ^^
    my 1st comment :) #terharu

    nulis all about kpop kek... :p

    ReplyDelete
  2. wkwkwkkk........
    untuk nulis tentang kpop butuh riset dan observasi mendalam na,,,,,

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts