Sebuah Jendela Lagi
Pagi ini aku duduk dekat jendela yang berbeda. Sobekan-sobekan awan putih memenuhi langit. Cuaca cerah seperti ini selalu bisa membuat suasana hatiku menjadi lebih baik, apalagi ditambah dengan kemenangan Barca atas Milan tadi pagi. Hari yang bagus.
Sebenarnya sama saja, di samping kelas ada tanah berumput. Meskipun rasanya baru sebentar kemarin dipotong, rumput itu sudah mmeninggi kembali. Yang sedikit berbeda adalah bunga-bunga rumput di sini panjang dan berwarna putih, seperti ilalang, bukan bunga-bunga kecil warna kuning seperti yang kulihat di jendela lain.
Agak jauh di sebelah kiri ada sebuah pohon kapas yang tinggi besar, tapi hampir semua daunnya sudah meranggas. Kapas-kapas putih terlihat dari kulit buahnya yang mengelupas. Pasti menyenangkan, duduk di rumput dan melihat kapas-kapas itu terbang ketika terkena angin. Seperti dalam film saja.
Jika melihat ke utara, atap-atap bangunan tampak kecil, mengingatkan bahwa bangunan ini berada di ketinggian. Dari sini lautan tidak terlihat jelas, samar-samar menyatu dengan langit. Lama-lama aku suka hijau.Hijau rumput, hijau daun jati, hijau daun kapas yang menjari, hijau daun-daun pohon yang namanya tidak aku tahu. Di bawah kubah langit semua hijau itu tampak serasi.
Diam-diam aku mengingatmu ketika melihat jendela dan tanah berumput ini. Biasanya aku butuh seseorang yang bisa menjadi inspirasi menulisku, dan saat ini seseorang itu adalah kamu. Dengan cara yang barangkali aneh, aku suka menulis tentangmu dan tentang hal-hal yang kita berdua sukai.
Jika sampai sore langit tetap cerah seperti sekarang, pasti akan sangat indah memandang keluar dari jendela ini. Langit akan menjadi oranye, salah satu warna kesukaanku. Jika angin tenang, pohon-pohon tegak berdiri menjadi saksi sepinya tempat ini. Aku ingin duduk di sini lagi pada senja semacam itu, sendirian menyatu dengan butir-butir debu yang melayang di pucuk-pucuk rumput, melebur bersama cahaya matahari yang membuat kapas-kapas menjadi keeemasa.
Barangkali aku juga akan membayangkan kamu duduk di kursi kosong di sebelahku, tanpa kata-kata ikut mengagumi senja yang sederhana itu. Lalu kita bercerita tentang bunga-bunga berwarna ungu dan rumput-rumput sahabatku. Begitu, sampai matahari yang penghabisan, dan aku tersadar bahwa aku hanya duduk sendirian.
Kampus, 22 november 2011: 8.13’
Comments
Post a Comment