Aku dan Hujan


 Kebumen, 6 November 2011

Seharian hujan.
            Langit begitu muram dan menumpahkan dingin lewat tetes-tetes air yang dilepaskannya. Biasanya aku merasakan panasnya Semarang yang dipenuhi matahari. Di sini menjadi begitu berbeda, bahkan walaupun kemarin aku sempat merasakan hujan di kota itu.
Aku duduk di dalam rumah, mendengarkan bunyi hujan dan mengamati tetesan-tetesan air yang jatuh dari atap. Benar, hujan sering membawakan kenangan masa lalu, seperti yang kukatakan kepadamu. Hujan mengingatkanku pada perahu dari batang pisang yang dibuat kakak lelakiku dan teman-temannya, yang kemudian diam-diam kunaiki bersama teman-temanku ketika mereka tidak ada. Hujan mengingatkanku pada perahu kertas yang kulayarkan di selokan belakang rumah. Hujan mengingatkanku pada suatu ketika saat ada seseorang yang tertahan di sini karena ada hujan di langit kami. Begitu banyak cerita, barangkali sebanyak tetes-tetesnya.
Aku tidak tahu apakah hujan di tempat kita sama atau berbeda. Aku tidak tahu di tempat seperti apa kau berada sekarang. Aku tidak tahu apakah bau hujan dan tanah basah yang kau sukai itu sama seperti di tempatku. Yang aku tahu, kita sepakat tentang hujan yang mengingatkan pada masa lalu, meskipun aku juga heran karena dengan cara yang aneh aku bisa mempercayaimu.
Aku menyebut ini sebagai salah satu kegembiraan dengan cara yang tak biasa. Aku menikmati kebiasaan baruku mengamati bunga-bunga yang kulihat di mana saja dan segera ingin tahu nama-nama mereka. Sebenarnya sejak dulu aku juga melakukannya, aku sering memungut kamboja merah jambu yang jatuh di dekat parkiran kampus, aku senang mengamati daun-daun yang jatuh di halaman, mengagumi cara mereka melayang di udara dan menyukai aroma khas rumput yang baru dipotong di halaman kampus. Tapi aku tidak pernah memperhatikan bahwa ada bunga rumput berwarna ungu yang tumbuh di pinggir jalan yang sudah satu tahun lebih kulewati hampir setiap hari. Aku juga baru memperhatikan bunga-bunga kersen ternyata sangat kecil dan rapuh, dan baru kemarin aku memetiknya setelah pohon kersen itu berdiri di depan kamarku sejak pertama kali aku datang.
Sekarang aku jadi sering tersenyum sendiri. Aku memang mengakui kalau ini agak konyol, atau mungkin malah benar-benar konyol. Tapi aku menikmati kebiasaanku menulis dengan kesenangan yang lebih dibanding sebelumnya. Maka biarkan saja aku begini, gembira dengan caraku sendiri. Bukankah kau menyukai kata-kataku, seperti aku menyukai kata-katamu?
Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan tanpa mengharapkan apa yang menurutku seharusnya terjadi, aku masih tetap percaya bahwa setiap pertemuan sesungguhnya adalah takdir. Seperti katamu, aku juga merasa senang berbagi kebahagiaan tanpa harus kehilangan kebahagiaan itu sendiri.

dandelion, bersama senja dan hujan
17.31’
           

Comments

Popular Posts