Cerita Pengantin Baru 4: Suka Duka Punya Suami Satu Profesi



Sejak dulu, saya tidak pernah dekat (dalam artian romantis) dengan lawan jenis dari satu jurusan kuliah atau satu profesi. Sewaktu kuliah, jurusan saya (PGSD) banyak didominasi perempuan dengan perbandingan laki-laki – perempuan hampir 1:4. Maka apalah daya saya yang hanya remah-remah rempeyek ini, tentu saja saya kalah saing dengan cewek-cewek hits lain dan akhirnya tidak pernah dekat dengan makhluk satu jurusan. Hahaha. Bahkan nama saya pun bisa dibilang tidak terlalu dikenal kecuali oleh teman satu kampung halaman dan satu organisasi.

Saya pernah dekat dengan beberapa orang dari latar belakang pendidikan dan profesi yang berbeda. Saya tidak bisa mengatakan apakah hal-hal itu berpengaruh besar pada hubungan kami, tapi ya, walaupun sedikit tentu ada pengaruhnya. Terkadang ada saat di mana kita hanya dibutuhkan sebagai pendengar, tapi ada kalanya kita juga diharapkan memberi saran atau solusi tentang masalah di tempat kerja. Tidak selamanya kita bisa melakukannya, bahkan saya pernah sedikit berdebat juga karena perbedaan pandangan tentang sistem kerja di kantor masing-masing.

Sebenarnya dulu saya tidak pernah mematok standar profesi untuk pasangan saya kelak. Tapi saya akui hal ini cukup berpengaruh pada perjalanan saya mencari pasangan. Mungkin karena lingkungan kerja yang itu-itu saja, kecocokan bahan diskusi dan perasaan senasib sepenanggungan, kesamaan profesi itu akhirnya bisa juga mendekatkan.

Tentu saja ada suka duka memiliki pasangan satu profesi. Lebih banyak sukanya sih sebenarnya… Dukanya paling-paling kadang sebel kalau pas mood-nya mau manja-manjaan malah diajak diskusi soal kerjaan. Hahaha.

Keuntungan yang pertama tentunya karena jadwal kerja kami bisa dibilang sama persis, jadi lebih gampang untuk mengatur segala macam agenda semisal pulang kampung, liburan, dan sebagainya. Tidak ada shift siang atau malam, kami masuk kerja enam hari dengan jam kerja yang sama. Paling kadang-kadang kami membawa pulang kerjaan yang tidak terlalu berat ke rumah semisal ulangan anak-anak untuk dikoreksi. Jadwal yang sama ini benar-benar memudahkan banyak hal.

Yang kedua, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, adalah kami bisa berbagi masalah maupun pengalaman tentang pekerjaan. Bukan hanya berbagi, tapi juga berdiskusi dan kadang bahkan mencari solusi bersama-sama. Sebagai sesama guru, tentu bahan pembicaraan lebih banyak tentang bagaimana menghadapi kelakuan anak-anak di kelas, menghadapi wali murid, cara mengajarkan suatu materi atau mengerjakan suatu tugas dinas. Kebetulan karena kami sama-sama bendahara, bahan diskusi juga bertambah tentang laporan keuangan dan segala macam keribetannya.

Yang ketiga, ada hubungannya dengan yang kedua. Kadang-kadang kalau masalah tentang pekerjaan benar-benar menumpuk di kepala, mood saya di rumah bisa terpengaruh juga. Saya sadar sebenarnya beban kerja di kantor tidak seharusnya dibawa ke rumah, tapi kadang-kadang sebagai manusia biasa, saya masih belum bisa memisahkannya (malah lebih mudah melupakan masalah di rumah saat ada di kelas, karena bagaimanapun juga tingkah anak-anak kadang membuat saya tertawa). Barangkali karena abang sangat memahami pekerjaan saya (dan karena pada dasarnya dia memang orang yang sabar), abang hampir tidak pernah marah kalau melihat saya sudah mulai cemberut-cemberut atau bermuka muram saat pulang kerja. Dia menghadapi saya dengan sangat tenang, kadang tidak segan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, dan lebih memilih diam jika saya memang belum mau bercerita. Saya sangat bersyukur tentang ini dan sering sekali kemudian merasa begitu bersalah karena belum bisa menjadi istri yang selalu berwajah menyenangkan di depan suami.

Yang keempat, masing berhubungan dengan poin sebelumnya, keadaan juga bisa berbalik. Kadang abang juga bisa down karena masalah pekerjaan. Ketika itulah tugas saya untuk memberikan semangat atau sekedar menjadi pendengar yang baik. Intinya adalah kami saling memberi semangat dan menguatkan. Kebetulan sekali biasanya momen ‘bermasalah’ seperti ini datangnya bergantian, jadi kami bisa bergantian juga berada dalam posisi ‘pemberi semangat.’ Ketika saya tidak yakin pada suatu tugas atau emosi karena menghadapi sesuatu yang menyebalkan, biasanya abang akan meyakinkan bahwa saya pasti bisa melewatinya asalkan saya tetap berkepala dingin dan melakukannya dengan setenang mungkin. Saya sangat bersyukur tentang hal ini. Bahkan momen-momen inilah yang dulu juga meyakinkan saya untuk menikah dengan abang (dulu sebelum menikah saya juga sudah sering uring-uringan soal pekerjaan dan biasanya dialah yang membantu mendinginkan).

Keuntungan yang kelima adalah lingkungan pergaulan kami yang sama. Walaupun sudah dua tahun lebih di sini, bisa dibilang kami tidak terlalu kenal banyak rekan seprofesi. Ya katakanlah kami memang kurang gaul. Beda dengan di desa yang bisa kenal guru satu kecamatan, di sini guru satu komplek perumahan atau satu gugus saja belum tentu kenal karena saking banyaknya sekolah. Tapi paling tidak kami punya satu lingkungan dekat yang sama yaitu teman-teman satu angkatan CPNS dulu. Bahkan dari sanalah kami juga bertemu untuk kali pertama dulu. Cie. Hahaha. Jadi bisa dibilang biasanya teman saya adalah teman abang juga, dan teman abang juga adalah teman saya.

Yang keenam, sedikit tidak penting tapi lucu juga sih… Kadang-kadang kami kebetulan bertemu di acara-acara dinas. Misalnya dulu sebelum menikah kami sering bertemu saat ada undangan bendahara di kabupaten (karena kami satu kecamatan). Pernah juga kami sama-sama ditugaskan ikut lomba guru berprestasi (hanya untuk menggenapi peserta hahaha) dan kebetulan mendapat nomor urut berdekatan. Waktu itu biasanya cuma bisa saling senyum-senyum saja. Kemarin yang terakhir kami sama-sama ditugaskan ikut upacara tanggal 17 di kecamatan. Lucu rasanya kalau bertemu orang lain jadi ingin bilang, “itu suami saya.” Hahaha.

Itu saja sih beberapa keuntungan punya suami satu profesi. Sebenarnya apapun pekerjaan pasangan, yang terpenting adalah rasa saling pengertian terhadap pekerjaan masing-masing. Saya sendiri sangat bersyukur karena abang sangat memahami pekerjaan saya, memaklumi jika kadang cucian atau setrikaan menumpuk karena saya belum sempat menyentuhnya, membantu saya bersih-bersih rumah bahkan kadang mencuci piring juga, dan yang jelas bisa bersabar menghadapi saya jika sedang muram karena ada masalah di tempat kerja.

Menjalani peran ganda sebagai istri dan perempuan yang bekerja memang tidak mudah, tapi bukan berarti saya ingin mengeluh. Sejauh ini saya menikmati semuanya. Memang benar akan lebih baik jika seorang istri lebih fokus mengurus keluarga di rumah dibanding bekerja, tapi menurut saya, selama suami meridhoi dan kita bisa menjalankannya dengan baik, kenapa tidak? Lagipula kita meniatkan bekerja juga untuk ibadah. Saya bertemu dengan anak-anak di sekolah setiap hari selalu dengan harapan agar saya bisa memberikan sesuatu yang berguna untuk mereka, meskipun hanya sedikit. Tentunya dengan tidak mengabaikan peran saya di rumah sebagai seorang istri dan ibu (kelak jika Allah berkenan menitipkan momongan, amiiiin).

Semoga selalu bisa memberikan yang terbaik untuk semuanya.

Yogyakarta, 5 Agustus 2017

Comments

Popular Posts