Cerita Pengantin Baru 3: Berburu Dandelion




Hari Pertama

Abang dan saya nggak hobi travelling, tapi kadang-kadang kami juga ingin bepergian untuk melepas kejenuhan. Abang adalah seorang perencana (berkebalikan dengan saya yang suka serampangan). Jika ingin bepergian, abang akan merencanakannya baik-baik jauh-jauh hari sebelumnya. Perjalanan pertama kami setelah menikah juga adalah rencana abang (mulai dari menyusun jadwal, memesan hotel dan mencari referensi tempat wisata).

Dua hari setelah akad nikah, tepatnya hari Senin pagi tanggal 8 Mei 2017, kami berangkat ke Wonosobo naik motor. Karena saya juga belum pernah ke sana, kami mengandalkan GPS lewat jalur Prembun ke utara. Setelah hampir 3 jam, kami sampai di kota Wonosobo. Ternyata abang salah pesan hotel. Niat hati ingin menginap di Dieng-nya, tapi abang nggak teliti pas pesan di Traveloka, ternyata itu malah hotel di tengah kota Wonosobo. Hahaha. Saya sih nggak masalah. 


Kami istirahat di hotel siang sampai sore itu (kebetulan juga hujan), nonton Doraemon di televisi. Malamnya barulah kami keluar. Saya ingin cari mi ongklok khas Wonosobo yang sering Lina ceritakan. Lagi-lagi modalnya ya google dan GPS. Cari yang letaknya dekat dan direkomendasikan di internet. Saya sudah lupa nama warungnya apa. Karena sempat kelewatan, kami akhirnya putar-putar (jalan di Wonosobo banyak yang searah). Ya lumayan lah rasanya. Tapi abang nggak terlalu suka. Dia memang agak picky sih soal makanan. Tapi untungnya kalau masakan rumah mau sehancur apapun rasanya dia tetap makan. Hahaha.


Setelah makan mi, kami nongkrong di alun-alun. Sepi ya alun-alunnya, mungkin karena tidak boleh ada warung tenda di alun-alun (tidak seperti di Kebumen yang alun-alunnya jadi wisata kuliner). Di sana kami cuma ngopi-ngopi terus pulang (sempat muter-muter lagi).
Hampir mirip di Temanggung, hawa kota Wonosobo juga dingin. Airnya apalagi. Makanya abang (yang tidak tahan air dingin) cari hotel yang ada air panasnya. Tapi sempat mati juga entah kenapa, sampai kedinginan kalau habis nyentuh air.

Hari Kedua

Hari kedua barulah kami benar-benar berangkat ke Dieng. Saya yang asli orang dataran rendah selalu ngeri kalau melewati jalur pegunungan yang berkelok-kelok dan naik-turun. Benar-benar mendebarkan. Apalagi jalannya sempit, kiri kanan pegunungan dan lembah-lembah, kemudian sering ada minibus atau truk yang lewat. Kalau boleh jujur, saya agak kapok. Hahaha. Bahkan mungkin kalau disuruh ke sana lagi naik mobil saya nggak bakal mau. Ngeri asli. Sering banget rasanya nahan napas saking takutnya (iya saya lebat sih kayaknya, biarin deh).

Tujuan pertama kami tentunya adalah Candi Arjuna.


Saya senang bukan hanya karena kami bisa jalan-jalan untuk kali pertama setelah menikah, tapi karena saya tahu tujuan abang mengajak saya ke Dieng adalah untuk mewujudkan salah satu keinginan saya: menemukan bunga dandelion. Sejak kuliah saya suka sekali segala sesuatu yang berhubungan dengan bunga itu, bahkan bunga rumput di halaman kampus saja saya petikin dan saya tiup-tiup macam bunga dandelion KW. Abang yang hampir selalu bisa memahami obsesi-obsesi aneh saya juga berusaha menuruti keinginan saya yang satu ini (setelah keinginan-keinginan lain yang juga dia wujudkan: nonton bola di stadion, nonton konser iKON, menemani saya menulis puisi).

Lokasi candi itu sejuk. Banyak pohon, tentunya. Suasana cukup ramai meskipun bukan hari libur. Banyak wisatawan lokal luar Jawa Tengah yang datang berombongan, termasuk rombongan anak sekolah. Waktu kami sampai, lokasi sekitar candi ramai dengan anak-anak ABG itu. Kami pun memilih untuk menyingkir ke tepi candi, ke arah jalan setapak yang kiri kanannya ditumbuhi pohon cemara.

Dan di sanalah dia, dandelion itu.

finally......

Saya melihatnya tumbuh sendirian di bawah salah satu pohon cemara. Putih. Bulat. Kontras dengan rumput hijau di sekitarnya, dan kelihatan rapuh. Rasanya benar-benar menyenangkan, bercampur dengan kelegaan. Seolah-olah rindu yang sudah bertahun-tahun ada akhirnya tuntas juga karena pertemuan itu.

Saya memetik satu tangkai (tak apalah ya, dandelion ini juga rumput kok) untuk ditiup. Waaaa…. akhirnya kesampaian juga melihat kelopak-kelopaknya yang beterbangan ditiup angin itu (karena bukan fotografer jadi nggak bisa nangkep momen yang bagus, tak apalah, yang penting kan kenangannya).





Di sekitar situ juga masih ada beberapa dandelion yang berwarna kuning. Jadi sebenarnya bunga dandelion yang putih itu adalah bijinya, yang teratur melepaskan biji-biji itu agar tumbuh di tempat yang baru.

Usai puas mengamati dandelion, kami mendekat ke candi. Kebetulan rombongan para ABG sudah pergi jadi kami bisa foto-foto. Karena lokasinya memang tidak terlalu luas, sebentar saja kami sudah keluar dari sana, jajan kentang goreng di halaman depan candi. Enak juga, makan kentang goreng hangat-hangat di tengah udara dingin.

Selesai makan, kami menuju Kawah Sikidang. Bau belerang yang sangat menyengat menyambut kami hingga akhirnya sebelum masuk ke lokasi kawah, kami memutuskan untuk balik kanan lagi. Tujuan kami berganti ke Telaga Warna yang lokasinya juga tidak terlalu jauh. Kami berjalan-jalan di sekitar telaga sebelum kemudian memutuskan sudah waktunya untuk pulang karena mendung juga makin tebal (rencananya kami ingin mampir di kebun teh Tambi dan langsung pulang ke Wonogiri). Benar saja, gerimis mulai turun. Udara makin dingin. Kami terus melanjutkan berjalan  menembus hujan yang makin deras. Pemandangan yang tadinya hijau indah berganti menjadi putih karena tertutup kabut. Rasanya seperti berada di atas awan. Jalanan di depan pun tidak terlalu jelas, hanya terlihat beberapa meter saja. Lagi-lagi saya merasa ngeri.

thank you...
Akhirnya kami pun berhenti di sebuah warung makan, sekalian berteduh dan akhirnya juga membeli oleh-oleh carica. Bawaan kami pun bertambah banyak, selain dua buah ransel besar. Gerimis masih turun ketika kami melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, ban motor terasa goyang. Ban kami bocor! Aduh… sudah lemes banget rasanya. Bayangkan saja. Gerimis. Di tengah jalan berkelok-kelok di pegunungan. Kanan kiri lembah. Entah berapa jauh lagi ada perumahan warga. Kendaraan pun sedang jarang yang lewat. Kami pun pasrah menuntun sepeda motor. Saya yang memang nggak bisa jalan cepat, tertinggal di belakang. Untunglah pas tidak ada tanjakan yang terlalu tinggi. Dan alkhamdulillah lagi, ada bengkel motor yang tidak terlalu jauh, sekitar 300 meter. Kami pun sholat dhuhur selagi menunggu ban motor ditambal.

Perjalanan selanjutnya begitu panjang dan melelahkan.

Kami pikir kalau ke Wonogiri lewat Magelang-Jogja akan terlalu jauh, kami memilih jalur alternatif dengan bermodalkan GPS. Lewat Tambi (yang banyak jalan rusak dan sempitnya), kemudian lewat Temanggung (hutan pinus nJumprit, Petir, Parakan, Magelang sebelah mana entah, kemudian lewat Getas, semuanya jalan-jalan pedesaan kecil yang kadang-kadang rusak dan naik turun serta berkelak-kelok). Kami juga bingung bisa-bisanya kami sampai lewat kabupaten Semarang. Saya merasa jalanan di pegunungan yang kelak-kelok itu seakan tidak berujung. Menjelang maghrib kami akhirnya sampai di jalan besar di Solo. Badang saya sudah pegal semua. Kami mampir makan di warung soto, kemudian lanjut ke Klaten. Benar-benar campur aduk: kepala pusing, badan pegal, bahu sakit, mau muntah. Saya sempat meminta abang berhenti di pinggir jalan beberapa kali. Abang sempat menawarkan menginap saja malam itu, tapi besok pagi rumah Wonogiri sudah ada acara ngunduh mantu. Malam itu pun keluarga pasti sudah menunggu kami, jadi bagaimanapun juga kami harus pulang.

Sampai Wonogiri kota sudah benar-benar malam. Perjalanan masih panjang. Rumah abang ada di Batu, dekat perbatasan Pacitan. Masih banyak lagi jalan sepi yang kiri kanannya hanya pepohonan. Bahkan setelah Pasar Batu, abang memilih lewat jalan setapak yang benar-benar sepi dan gelap, bahkan tidak ada lampu jalan sama sekali, hanya ada pohon jati di mana-mana.

Alkhamdulillah semuanya aman. Kami sampai di rumah sekitar pukul 10.00. Saudara-saudara sudah berkumpul dan masih melakukan beberapa persiapan untuk acara besok. Rasanya lelah, tapi lega dan bahagia. Itu adalah kali ketiga saya datang ke rumah abang, tapi adalah kali pertama saya datang sebagai seorang istri.
Esoknya, hari baru kembali dimulai.

Yogyakarta, 3 Agustus 2017: 16.00




Comments

Popular Posts