Cerita Pengantin Baru 2: Akhirnya... Hari Itu Tiba









Semua persiapan pernikahan bisa dianggap selesai.

Hari Sabtu, satu minggu sebelum pernikahan, ada rapat sekolah. Saya kaget (dan sudah hampir menangis) ketika diberitahu bahwa laporan untuk persiapan akreditasi harus sudah selesai minggu depan. Setelah menerimanya dengan lapang dada, akhirnya saya memutuskan untuk menunda kepulangan dan lembur hari Minggu dan Senin (Senin kebetulan tanggal merah). Banyak cinta dan terimakasih untuk teman-teman kantor saya yang sudah mendukung (terutama Mba Ambar dan Miss Rosi yang menemani dan membantu lembur huhuhu I love you).

Alkhamdulillah. Ternyata kalau mengerjakan sesuatu tanpa mengeluh dan pikiran tenang, pekerjaan itu terasa tidak seberat yang dibayangkan. Hari Selasa pagi sehabis subuh, saya pulang ke Kebumen naik motor sendiri (sudah beberapa kali kok jadi nggak usah heran haha cuma ya 11/12 sama siput lah saya lelet kalau naik motor).

Sekitar pukul 8 saya sampai di rumah. Tenda biru sudah berdiri di halaman rumah. Keluarga besar dan tetangga sudah banyak yang berkumpul di rumah. Rasanya masih nggak percaya, seperti mimpi.

Kalau dibayangkan H-4 saya kemudian santai menunggu hari ijab qabul, jelas salah besar. Saya masih ada tanggungan menitipkan undangan untuk teman-teman. Karena tidak bisa mengirimkan undangan satu per satu, saya titipkan undangan ke beberapa teman yang stay di rumah. Sekarang memang sudah zaman serba sosmed, tapi sebisa mungkin kalau teman-teman saya yang tinggal di Kebumen tetap saya kirimi undangan fisik biarpun undangan itu entah sampai di tangan atau tidak yang jelas sudah ada nama mereka di kertas undangan saya.

Hari Rabu saya pergi imunisasi ke Puskesmas (antrinya lumayan lama). Ternyata pemeriksaan sebelum menikah harus bersama calon suami (calon suami akan dicek kesehatan terutama cek darah untuk HIV/AIDS). Karena saya datang sendiri, alhasil di setiap pemeriksaan selalu ditanya mana calon suaminya? Saya cuma senyum-senyum saja padahal pikiran sudah bingung. Abang berencana datang lebih dulu jumat sore untuk menginap malam sebelum akad. Sewaktu saya kabari kalau dia harus cek kesehatan ke Puskesmas juga, dia sempat berencana untuk cek di Wonogiri saja. Tapi petugas Puskesmasnya bilang lebih baik jaga-jaga di Puskesmas Petanahan saja. Akhirnya abang bersedia datang Kamis malam supaya Jumat paginya bisa ke Puskesmas.

Kamis pagi, saya ada undangan mengikuti suscatin (Kursus Calon Pengantin) di KUA Petanahan (yang letaknya kebetulan di desa saya). Saya datang diantar kakak saya. Ternyata, memang suscatin harus dihadiri kedua calon mempelai seperti yang ada di undangan. Karena saya datang sendiri, kepala KUA berpesan agar Jumat saya datang lagi bersama calon suami. Kebijakan tiap daerah berbeda-beda ya soal persiapan pernikahan, jadi belum tentu juga daerah lain sama seperti yang saya alami.

Kamis malam Jumat, keluarga kami menunggu kedatangan abang yang kemungkinan datang hampir tengan malam. Dekorasi pelaminan dilanjutkan dan saya baru tahu prosesnya serumit itu, ya. Butuh banyak orang dan ketelatenan. Pemilik rias manten sekaligus dekornya juga dua kali mengecek dan menunggui. Sekitar pukul 11 malam, abang sampai bersama Mas nya dan salah seorang teman. Mereka kami inapkan di rumah salah seorang tetangga. Saya pun tidur dan orang-orang masih mendekor pelaminan entah sampai jam berapa.

Jumat pagi, saya dan abang ke Puskesmas. Antrinya saja yang lumayan lama, tapi pemeriksaannya cuma sebentar karena hanya cek kesehatan biasa dan cek darah. Setelah mendapatkan surat keterangan, kami pun ke KUA untuk menyerahkan surat tersebut dan mengikuti suscatin (jilid II untuk saya). Di kecamatan saya sekarang, para penghulu kebanyakan menyerahkan kepada wali perempuan untuk menikahkan sendiri, bukan wakil seperti yang dulu sering dilakukan. Saya pun menanyakan kalimat ijab qabulnya agar Bapak di rumah bisa berlatih lebih dulu (ijab qabul di tiap daerah juga biasanya ada perbedaan kalimat).

Usai solat Jumat, bapak dan abang latihan ijab qabul. Saya dan biyung yang menonton malah tertawa-tawa geli. Bapak saya punya gaya bicara yang sangat cepat, jarang bisa pelan-pelan dan tertata. Kami pun berpesan agar Bapak membawa kertas catatannya saja, tidak perlu hafalan. Tapi bapak bersikeras beliau bisa menghafalkannya dengan lancar. 

Malam itu, saya tidur seperti biasa.

Pagi sewaktu di Puskesmas, abang bilang pada saya.

“Kata orang kalau mau ijab qabul deg-degan, kok aku biasa aja, ya.”

Saya pun bercanda menanyakan apakah dia serius atau tidak, karena dia tidak deg-degan. Sebenarnya saya juga termasuk “merasa biasa saja.” Mungkin karena saya yakin semuanya akan berjalan lancar. Mungkin juga karena saya percaya pada abang. Mungkin juga lagi karena saya dan dia sudah kenal cukup lama, jadi tidak merasa terlalu ada yang baru dari kebersamaan kami (padahal jelas tetap ada bedanya lah kalau sudah menikah).

pas ini keliatan deg-degan sih ya hahaha
Malam itu saya hanya merasa masih sulit untuk percaya, bahwa besok paginya, jika Dia mengizinkan, saya akan menjadi seorang istri. Saya yang belum bisa bangun pagi, yang masaknya masih nggak karuan, yang masih sering manja pada bapak ibu, yang belum bisa rapi-rapi rumah, akan menikah dengan seorang lelaki asing yang bersedia menerima saya dan keluarga saya.

Pernikahan memang benar-benar suatu ikatan yang luar biasa.

Paginya, sebelum jam 7 saya sudah dirias (padahal akad jam 11).

Jadi ceritanya, hari itu tetangga saya satu RT juga menikah. Kami memakai rias manten yang sama. Untungnya acara di sana mulai jam 9 pagi, jadi perias kami merias dia lebih dulu, baru ke rumah saya. Setelah itu perias akan lari ke sana lagi untuk merias acara resepsi, baru nanti balik ke rumah saya untuk merias resepsi saya juga. Hahaha. Sibuk semua lah tetangga kami pokoknya (bahkan beberapa tamu tetangga saya itu juga nyasar ke rumah saya).

Mendekati pukul 11, saya mulai panik.

Keluarga abang belum datang. Keluarga saya sudah mulai terus menanyakan, tapi abang tidak mau menjawab ketika saya chat. Saya juga mulai bingung, takut terjadi sesuatu di jalan. Apalagi ketika penghulu sudah datang dan saya dipanggil keluar. Saya tidak ingin akad nikah terjadi tanpa disaksikan bapak dan ibu abang. Tepat ketika saya merasa ingin menangis, kakak sepupu saya memberitahu akhirnya keluarga abang sudah sampai. Saya pun lebih tenang ketika melangkah keluar, menunggu sosok itu datang diiringi keluarganya. (usai resepsi baru saya tahu penyebab rombongan keluarga abang agak terlambat datang dari perkiraan adalah karena ban mobil sempat bocor dan sempat nyasar juga).

finally he came....


Saat itulah saya baru merasa berdebar.

Di sana. Hari itu. Dalam waktu beberapa menit lagi hidup saya akan mengalami perubahan yang teramat besar. Saya mencuri pandang pada wajahnya yang duduk di depan bapak saya. Dia, laki-laki yang saya pilih sendiri dan juga memilih saya. Dia yang duduk di sana, berjas hitam dan berkalung bunga melati, menanti dengan wajah serius yang jarang dia tampakkan ketika bersama saya.

Bapak yang duduk di samping saya pun menjabat tangannya.

Suara bapak pelan, tidak cepat dan terburu-buru seperti biasanya. Suara beliau sedikit bergetar meski ucapannya tetap lancar.

Dalam satu kali ucap, ijab qabul terlaksana.

Saya terharu luar biasa. Pada bapak saya -yang berhasil mengucapkan kalimatnya dengan lancar tanpa salah sedikit pun, juga pada abang yang berhasil menjawabnya dalam satu kali ucap. Pada ibu -yang berdiri sambil menahan air mata menyaksikan pernikahan saya.

Hidup saya pun resmi berubah. Saya telah sah menjadi seorang istri pada perjanjian yang bukan hanya didoakan oleh manusia, tapi juga oleh para malaikat (amiiin).


Resepsi selanjutnya berjalan seperti acara pada umumnya. Foto-foto. Tersenyum. Ganti pakaian. Ganti riasan jilbab. Kemudian sempat ke sawah-sawah juga untuk mengambil video. Hahaha. Alkhamdulillah semua berjalan lancar berkat doa orang tua, doa dan dukungan keluarga besar serta teman-teman. Senang sekali rasanya melihat banyak saudara yang datang jauh-jauh untuk menghadiri acara saya, juga para sahabat yang menyempatkan waktunya untuk datang dan mendoakan. Sahabat-sahabat saya dari kos dulu di Semarang juga datang dari Temanggung dan Salatiga.  Benar-benar bahagia. Sampai menjelang Isya rumah kami masih kedatangan tamu (kebanyakan keluarga jauh dan sahabat-sahabat saya yang belum sempat datang). Ajaibnya, saya benar-benar sehat. Iya, saya yang biasanya cemen dan gampang capek ini sehat sentosa. Padahal biasanya habis ngevent Kpop bareng Lina, saya langsung pegel-pegel seluruh badan dan kepala juga pusing. Hari itu, memakai riasan seharian, memakai high heels, senyum sampai bibir agak kaku, tapi kaki nggak pegel dan badan juga segar seperti biasa. Alkhamdulillah. Barangkali itulah kekuatan perasaan bahagia dan atas izin-Nya kami diberikan kesehatan sampai acara berakhir.

thank you thank you i love you girls~~~


Jadi seperti itulah rasanya menikah.

Lega. Bahagia.

Saya menatap wajahnya dan tertawa.

Dia jadi suami saya.

Dia… iya, dia ini yang dulu membuat saya malas hanya dengan melihat tampangnya. Hahaha. Hidup memang penuh kejutan, ya. Dia juga bilang sejak dulu kalau saya sama sekali tidak masuk dalam kriteria perempuan idamannya. Tapi bagaimana dan kenapa kami bisa saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan hidup bersama, benar-benar sebuah perjalanan panjang penuh drama. Drama itu biarlah kami dan Dia yang tahu detailnya.

Yang jelas, iya, saya bahagia.

Yogyakarta, 12 Juli 20









Comments

  1. Manisssss sekali, ikut meleleh. Doakan saya bisa segera dipertemukan dengan orang yang tepat dan bisa merasakan kebahagiaan ini juga yaaa hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah..baru baca saya.
      terimakasih ya, semoga segera dipertemukan dengan jodohnya ^^
      percayalah jodoh tidak akan tertukar

      Delete

Post a Comment

Popular Posts