Membebaskan Diri dari Media Sosial



Dulu, saya cukup sering menonaktifkan facebook. Biasanya saat sedang galau karena ngambek pada pacar atau kecewa pada gebetan (yang ternyata punya pacar baru). Hahaha. Yang menyebalkan adalah karena facebook (setahu saya) tidak menyediakan pilihan hapus akun secara permanen. Kita hanya bisa menonaktifkannya sementara, dan kemudian akun kita bisa aktif lagi saat kita login (dengan batas waktu tertentu).
Saat ini, media sosial sudah semakin beragam: twitter, instagram, path, snapchat dan lain-lain. Saya sendiri hanya memakai BBM, WA, facebook, twitter, line dan instagram. Saya tidak akan membahas lagi tentang media sosial yang memang seperti pedang bermata dua: ada positif dan negatifnya. Saya hanya akan bercerita apa yang saya alami sehari-hari. Sepertinya saya juga sudah termasuk gadget addict, dari membuka mata sampai merem lagi hp adalah barang pertama dan terakhir yang saya pegang.
Kadang-kadang saya merasa lelah.
Saya lelah melihat kehidupan orang lain.
Saya lelah melihat berita-berita buruk yang bertebaran.
Saya lelah membaca komentar-komentar pedas orang lain (sekalipun itu tidak ditujukan untuk saya).
Saya lelah dengan diri saya sendiri yang masih bertahan berjam-jam hanya untuk membaca line today, melihat status facebook orang-orang, melihat orang-orang mengeluh, pamer, berdebat atau saling mencaci maki, atau hanya sekedar melihat komentar-komentar di akun lambe turah tentang kejadian yang sedang viral saat ini.
Sebenarnya, saya tidak terlalu sering mengumbar kehidupan pribadi di media sosial. Jika sedang sedih, senang, bahagia, marah atau kecewa, biasanya saya menulis sebaris puisi atau mengutip lirik lagu atau menulis kalimat lain yang tidak kentara (walaupun tetap sama saja saya sedang curhat). Sebenarnya memang hak masing-masing individu untuk menampilkan apapun di beranda media sosialnya. Namun menurut saya tetap ada koridor yang membatasi kebebasan itu –tidak menyinggung suatu kelompok, berkepala dingin, menggunakan bahasa yang tetap sopan dan semacamnya. Kalau hanya sekedar curhat atau pamer, itu memang hak setiap individu, tinggal kita memilih sikap bagaimana untuk menghadapinya.
Kalau saya pribadi, kadang saya memang merasa terganggu dengan postingan yang terlalu mengumbar kehidupan pribadi, misal: selalu mengeluh, terlalu pamer kekayaan, terlalu umbar kemesraan, marah-marah atau menyindir ‘seseorang’ yang jelas-jelas bisa membaca status mereka, atau menjelek-jelekkan kelompok lain yang tidak sesuai dengan kelompoknya sendiri. Kembali lagi pada pernyataan saya sebelumnya: itu adalah hak mereka. Saya tidak berhak melarang mereka pamer atau curhat masalah apapun di media sosial mereka. Saya pun bisa meng-hidden status mereka agar tidak muncul di beranda saya.
Jujur, saya juga masih sering kesulitan menahan diri untuk tidak memberitahu dunia tentang hal-hal kecil (dan tidak penting) yang terjadi pada kehidupan saya. Apalagi saat dulu masih (lebih) muda, ketika saya sering menggalau karena masalah kasih tak sampai atau patah hati, rasa-rasanya beban di dada akan lebih ringan jika saya sudah menulis sebaris-dua baris status (apalagi jika kemudian berhasil menarik perhatian si dia –hahaha). Tapi selama bertahun-tahun saya punya orang dekat, saya tidak pernah memposting soal itu secara gamblang di media sosial manapun. Cukup keluarga dan sahabat-sahabat dekat yang tahu. Bahkan orang-orang pun tidak ada yang tahu ketika akhirnya hubungan dekat itu kandas dan kembali pada pertemanan biasa.
Saya punya keinginan untuk tidak pernah menunjukkan wajah siapapun yang belum menjadi suami saya di dunia maya.
Apakah karena saya tidak ingin?
Tentu saja kadang-kadang saya ingin.
Saya ingin memberitahu dunia bahwa saya juga memiliki seseorang yang saya cintai dan mencintai saya.
Saya ingin bercerita pada dunia tentang hal-hal kecil tapi manis yang dia lakukan pada saya (seperti misalnya ketika dia menaruh novel dan setangkai mawar di depan kamar kos saya).
Saya ingin menunjukkan betapa dia mengerti dan memahami saya, hingga hal-hal yang terkecil sekalipun.
Tapi saya berusaha menahan diri dari semua itu.
Inti dari cerita yang berputar-putar ini adalah alasan mengapa saya menghapus kebanyakan akun media sosial saya baru-baru ini. Saya memang sudah sering memiliki niat itu, tapi hanya pemicunya yang belum muncul. BBM adalah aplikasi pertama yang saya hapus. Saya mulai merasa bosan men-scroll layar hp hanya untuk melihat status dan foto-foto orang lain. Saya juga lelah dengan keinginan untuk membagikan foto setiap momen yang saya punya. Saya juga lelah menahan diri untuk tidak curhat keterlaluan dengan beberapa baris huruf itu. BBM pun saya hapus dan tidak ada masalah. Saya masih bisa berkomunikasi dengan media lain.
Selang beberapa bulan kemudian, saya merasa malu dengan diri saya sendiri. Ketika ada sesuatu yang mengganjal, bukannya berkomunikasi baik-baik dengan pihak tersebut, saya justru diserang keinginan untuk membagikan keresahan pribadi itu di media sosial. Sungguh saya malu. Saya merasa saya bukan lagi remaja labil yang pantas untuk curhat macam-macam hal di beranda facebook atau instagram story.
Dengan pemicu itu, saya menonaktifkan keduanya: facebook dan instagram.
Untuk twitter sendiri belum saya hapus tapi memang sudah lama sekali tidak pernah saya sentuh. Masa paling aktif bermain twitter adalah bertahun-tahun lalu ketika saya masih menjadi fangirl sebuah boyband. Hahaha. Aplikasi lain yang saya pertahankan hanya Whatsapp (yang paling penting untuk berkomunikasi) dan Line (penting untuk membaca Webtoon, hahaha). Saya hanya berdoa semoga saja WA tidak akan di-upgrade tampilannya menyerupai facebook.
Saya pernah membaca di suatu tempat: “kamu benar-benar merasa bahagia jika kamu bisa menikmati momen itu tanpa keinginan untuk membagikannya di media sosial.”
Kaum milenial memang sudah terbiasa membagikan apapun dan merasa teramat bebas di media sosial –bebas berpendapat, bebas berkomentar, bebas menampilkan apa saja. Apa sih inti liburan kekinian? Datang ke tempat bagus – foto – upload. Apa sih inti acara reuni dengan teman lama? Kumpul-kumpul – foto – upload. Makan di cafĂ© – foto makanannya – upload. Bepergian naik mobil – rekam lalu lintasnya – upload. Ngambek dengan pasangan – upload foto dengan background hitam – tulis penggalan lagu atau quote yang mengena. Marah dengan orang lain – tulis status berisi sindiran hingga kadang ada orang yang bukan target menjadi salah paham.
Saya ingin sekali terbebas dari semua itu.
Saya ingin menikmati kebahagiaan secara nyata, secara pribadi bersama orang-orang dekat yang benar-benar berharga, tidak perlu bersama seisi dunia (yang kadang kenal pun tidak).
Saya tidak ingin orang-orang tahu ketika saya sedang bermasalah dengan sahabat atau rekan kantor.
Saya tidak merasa orang-orang perlu tahu ketika saya bahagia dengan dia yang ada di sisi saya.
Saya merasa cukup –cukup dengan perhatian dan interaksi bersama orang-orang di dunia nyata yang berputar di sekeliling saya. Toh, saya masih bisa menggunakan sarana lain untuk berkomunikasi dengan sahabat saya yang jauh jaraknya.
Barangkali kamu tidak setuju dengan pendapat saya. Sah-sah saja.
Ini adalah pilihan saya dan saya bahagia.

Yogyakarta, 21 April 2017: 17.55’

Gerimis di luar jendela

Comments

Popular Posts