Belajar dari Rama dan Biyung: Romansa Pernikahan 31 Tahun

Seperti lazimnya masyarakat pedesaan yang hidup di pesisir selatan Kebumen, saya memanggil orang tua saya dengan sebutan ‘rama’ dan ‘biyung.’ Panggilan bapak dan ibu, pada masa saya kecil, hanya digunakan oleh kalangan keluarga tertentu. Saya tidak pernah merasa malu atau aneh dengan panggilan itu. Justru nama panggilan yang berbeda dari kebanyakan orang membuat saya merasa rama dan biyung saya semakin istimewa.
Kedua orang tua saya sudah menikah selama kurang lebih 31 tahun.
Saya merasa sifat romantis saya menurun dari biyung, melihat bagaimana ia selalu menceritakan romansa masa mudanya dulu dengan mata berbinar dan senyum bahagia. Seperti layaknya remaja zaman dulu, rama dan biyung saya dikenalkan oleh keluarga. Biyung mengingat rama sebagai seorang remaja laki-laki kurus berkulit hitam dan berambut keriting dengan wajah polos dan senyum manis. Rumah mereka dulu berbeda kecamatan dan harus ditempuh dengan naik sepeda sekitar setengah jam, melewati hamparan sawah dan rumpun bambu gelap tanpa listrik. Biyung masih ingat bagaimana laki-laki yang mencintainya itu terlihat begitu lelah dengan baju basah keringat usai bersepeda cukup jauh di malam hari yang gelap gulita.
Biyung juga masih ingat kenangan-kenangan kecil mereka, seperti sebuah lagu yang mengingatkan bahwa saat itu ia sakit dan rama tidak datang menjenguk. Atau tentang suatu hari ketika mereka sudah menikah dan rama jatuh sakit, biyung yang memboncengkannya sejauh rumah kakek dan nenek.
Mereka berdua menikah di usia yang pada masa sekarang dianggap masih sangat muda. Tapi tidak bagi mereka saat itu. Mereka menjalani seumur hidup mereka dengan kesederhanaan dan rasa bersyukur. Biarlah jika ada yang berkata bahwa terlalu berpikir biasa, tidak ingin maju atau apapun itu. Saya, anak mereka, lebih tahu bahwa rama saya bekerja lebih kerasa berkali-kali lipat dibanding orang-orang lain di dunia ini, demi mencukupi kehidupan istri dan anak-anaknya.
Saya selalu belajar banyak hal dari kedua orang tua saya: tentang pernikahan, tentang interaksi dengan saudara dan tetangga, tentang kesabaran, tentang mendidik anak-anak, tentang menjalani kehidupan dengan kesabaran dan rasa syukur.
Biyung dan rama saya adalah dua orang yang sangat berbeda sifat, tapi justru karena itulah mereka saling melengkapi. Biyung adalah seorang perempuan yang gampang tersentuh tapi juga tegas, selalu ingin mengungkapkan pikirannya, tapi dalam beberapa keadaan juga selalu bisa memilih dan memilah mana hal yang harus disampaikan, mana hal yang tidak perlu diungkapkan. Sedangkan rama saya adalah lelaki yang sangat tulus, selalu berprasangka baik kepada orang lain, rajin salat jamaah di masjid, muadzin bersuara merdu, seorang pekerja keras dan punya kesabaran yang seolah tiada batas.
Hampir pada segala macam hal, kedua orang tua saya selalu saling melengkapi dan itu membuat saya belajar sangat banyak. Orang tua saya tidak perlu menceramahi saya tentang kehidupan pernikahan, karena mereka telah memberikan saya pelajaran dari kehidupan mereka sehari-hari.
Sepanjang pengetahuan saya, kedua orang tua saya tidak pernah bertengkar hebat. Tentu saja ada banyak perbedaan pendapat, tapi mereka selalu menyelesaikannya dengan berdiskusi. Pada setiap permasalahan, pengambilan keputusan tidak pernah dimonopoli oleh satu pihak. Rama dan biyung selalu membicarakannya dan mengambil keputusan bersama, bahkan pada hal-hal kecil sekalipun. Biyung mengajari saya bahwa untuk mengajak bicara suami, kita harus pandai-pandai memilih waktu. Cari waktu yang tepat ketika ia sedang tidak lelah sehabis bekerja, ketika sedang santai sehabis makan atau sehabis salat. Dengan begitu pembicaraan bisa dilakukan dengan pemikiran yang lebih jernih tanpa emosi berlebihan.
Orang tua saya juga tidak pernah bertengkar terlalu lama, bahkan tidak pernah tahan sampai satu hari. Jika biyung marah-marah atau cerewet karena suatu hal, rama saya lebih sering diam atau kadang menanggapinya dengan bercanda. Biyung saya tidak pernah melakukan yang namanya mogok bicara atau berhenti saling tegur sapa. Detik ini bertengkar, semenit kemudian sudah mesra lagi. Oh ya, bahkan setelah tiga puluh tahun, keduanya masih sering mesra di depan anak-anaknya. Saya rasa, itu juga termasuk salah satu resep menjaga keharmonisan rumah tangga.
Selain komunikasi yang baik, hal lain yang diperlihatkan oleh orang tua saya adalah kerja sama yang baik. Jika menyangkut rumah dan anak-anak, tidak ada namanya pekerjaan laki-laki atau pekerjaan perempuan. Ketika biyung sibuk memasak, rama saya sering membantu di dapur, sekedar memarut kelapa atau mencuci beras. Kadang-kadang beliau juga mencuci piring dan bahkan mencuci baju sendiri. Karena biyung adalah ibu rumah tangga, biyung selalu berusaha membereskan pekerjaan rumah sebelum rama pulang bekerja. Jadi ketika beliau pulang, rumah sudah rapi dan bersih. Tapi kalaupun karena begitu banyak pekerjaan biyung belum sempat merapikan rumah, rama tidak pernah marah-marah. Beliau hanya akan marah kalau biyung dan anak-anak belum shalat ashar saat beliau pulang.

Rama saya adalah laki-laki yang mandiri. Tapi dalam beberapa hal seperti mengambil nasi untuk makan dan menyiapkan baju kondangan atau baju koko untuk salat Jumat, biyung-lah yang akan selalu menyiapkan. Cinta beliau terlihat dari hal-hal kecil semacam itu. Sedangkan rama saya biasanya akan menyisihkan makanan apapun yang beliau dapat dari luar rumah, seperti misalnya membungkus satu plastik dawet ayu untuk diberikan kepada biyung ketika beliau jajan minuman itu di pinggir jalan (perlu diketahui bahwa beliau adalah orang yang tidak pernah makan di warung jika memang bukan karena disuruh biyung sebab nasi di rumah habis).
Dalam mengambil keputusan apapun, mereka akan membicarakannya baik-baik hingga didapatkan keputusan yang paling tepat. Rama adalah sosok yang sangat lugu, polos dan suka berterus terang, jadi ketika beliau harus membicarakan hal penting bersama orang lain, biyung selalu siap sedia di sampingnya –berperan sebagai “rem,” atau “alarm,” atau “penyeimbang” agar suaminya bisa menyampaikan hal yang memang dimaksudkan. Pada beberapa hal, kadang-kadang saya dan biyung menganggap rama adalah orang yang kelewat baik hati. Maklumlah, perempuan masih suka banyak perhitungan. Tapi beliau selalu berhasil membuktikan bahwa kebaikan dan rasa syukur itu bisa kembali lagi kepada kita dalam berbagai wujud yang kadang kita sendiri pun tidak menyangkanya.
Saya cemas, tentu saja. Saya juga menyimpan ketakutan jika saya tidak bisa menjalankan apa yang orang tua saya contohkan. Tapi, seperti kata pepatah lama, kita tidak akan tahu jika kita tidak mencoba, bukan? Saya memiliki niat itu. Dia, yang saya pilih dan memilih saya, juga memilikinya. Jadi, niat baik itu akan lebih baik lagi jika benar-benar dilaksanakan.
Semakin dekat, saya merasa makin tidak percaya bahwa saya sudah dianggap dewasa. Ada ratusan anak-anak yang memanggil saya “ibu,” tapi jauh di dalam diri saya, saya juga merasa bahwa saya masih anak-anak (apalagi ketika pulang dan saya masih tidur dalam pelukan ibu). Tapi saya memang harus sadar, saya harus menjadi dewasa. Sebentar lagi akan ada banyak tanggung jawab lain yang saya emban, tanggung jawab yang menyangkut hidup orang lain –bukan hanya hidup saya seorang.
Saya memang masih perlu banyak sekali belajar.
Bukankah belajar memang tugas kita seumur hidup?
Dengan niat baik dan doa restu rama dan biyung tercinta, saya siap mengambil langkah besar itu.
Bismillah.

Yogyakarta, 17 April 2017
H-21



Comments

Popular Posts