untuk tuan yang sedang dalam pelukan


wahai tuan yang bermata tajam, tidakkah dua biji matamu yang hitam dan berpendar serupa lampu jalan di tengah malam bisa menembus kepalaku yang melulu dipenuhi kamu? jika suatu hari kau membaca surat kabar, aku ingin kau menemukan sebuah puisi dengan nama lengkapmu di bawah judulnya. begitulah caraku untuk memberitahumu.

wahai tuan yang menyukai hujan, jika kau tengah duduk minum teh di halaman belakang, tidakkah kau ingat dulu aku pernah bertanya apa minuman favoritmu? sebagai lakilaki, kau tetap suka minum kopi, katamu.
tidakkah kau tahu, tuan, lamalama aku menjelma secangkir kopi yang jatuh cinta pada kepahitannya sendiri.

wahai tuan yang diamdiam kusimpan potretnya, apakah jatuh cinta ataukah patah hati yang lebih banyak melahirkan puisi? berapa kalipun aku patah hati karenamu, sebanyak itu pula aku jatuh cinta, lagi dan lagi, kepadamu. maka puisipuisi tak terbaca ini serupa anakanak yang lahir dari rahimku, selalu berhulu dan berhilir pada sosokmu.

wahai tuan yang sedang dalam pelukan hati yang lain, tidak ada yang bisa kujanjikan. pun hangat yang lebih aman dibandingkan dekapan sepasang tangan lembut itu.
tapi sama seperti perempuanmu itu, tuan, aku juga selalu mencintaimu, sejak hari sebelum kita bertemu.


*judul terinspirasi dari salah satu judul lagu Payung Teduh 
beringin 17, 15 juni 2014: 18.37’

-sebelum debat capres yang pada akhirnya gagal kutonton karena terlaul sibuk menangis sampai ketiduran di kamar

Comments

Popular Posts