Dia yang Senang Berpuisi
Seandainya saya
diberi pertanyaan: “suami seperti apa yang kau inginkan?” maka saya akan
menjawab dengan satu kalimat.
“Lelaki yang senang
berpuisi.”
Kenapa? Bukankah puisi
tidak bisa dimakan? Entahlah, saya juga tidak tahu. Barangkali itu adalah
keinginan yang lucu, tidak realistis, naif, konyol, terserahlah. Tapi dari
lubuk hatiku yang paling dalam, saya memang benar-benar menginginkannya.
Tanpa dasar yang
jelas, saya beranggapan bahwa lelaki yang senang berpuisi pasti lebih perasa
dan lebih peka. Masalah romantis atau tidak, itu relatif. Barangkali ada orang
yang berpikir bahwa puisi hanyalah kata yang terlalu berbunga-bunga, bahwa
tindakan dan bukti nyata lebih penting dibandingkan sekedar barisan kata-kata.
Tapi bagaimanapun juga, saya memang menyukai puisi sekalipun saya sendiri tidak
bisa menulis puisi yang bagus. Puisi bisa begitu menggetarkan. Mengharukan. Menyedihkan.
Menyampaikan hal-hal yang terkadang malah tidak bisa ditunjukkan dengan
perbuatan.
Saya mengagumi lelaki
yang senang berpuisi, sekalipun jarang sekali saya bertemu dengan orang semacam
itu dalam dunia nyata.
Kalau ditanya penyair
mana yang ingin saya jadikan suami, maka hanya ada satu nama yang akan saya
sebut: Aan Mansyur.
Saya mengangumi
banyak penyair, tapi entah kenapa bang Aan menempati urutan teratas dalam
daftar itu. Dan hanya dia penyair yang membuat saya ingin menjadi istrinya. Lucu,
ya. Tapi bagi saya tidak. Saya sudah jatuh cinta pada bang Aan sejak pertama
kali membaca puisi-puisi di website-nya.
Puisi-puisi bang Aan –sekalipun
tidak semuanya bisa saya pahami, selalu bisa menggetarkan perasaan. Metafora-metaforanya
tidak biasa, sederhana tapi indah. Saya memang bukan seorang kritikus, hanya
orang awam. Dan bagi saya puisi-puisi bang Aan selalu indah dan menggerakkan. Apalagi
bang Aan juga menyukai buku dan kopi, dua hal yang juga saya sukai. Dua hal itu
sering dia sebut dalam puisi-puisinya.
Coba saja tengok satu
bait dari puisinya yang berjudul “Barangkali” ini.
Barangkali aku jadi gelas yang hangat, kopi
yang diminum tergesa-gesa, atau sendok yang bunyinya mengganggu sunyi. Jika dia
tidak suka kopi karena alasan tertentu, aku jadi kemalasan yang menahannya di
tempat tidur atau cahaya dari jendela yang memaksanya membuka mata. Aku ingin
jadi sesuatu yang dia sentuh pada pagi hari.
Begitu manis. Begitu menyentuh.
Kalau saya punya
seorang suami seperti bang Aan, atau malah bang Aan sendiri yang menjadi
suami saya, saya membayangkan akan ada secarik kertas berisi puisi di atas meja
makan sebelum kami sarapan. Akan ada puisi dengan nama saya tertulis di bawah
judulnya. Semua itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Barangkali saya pun
hanya berani berandai-andai membayangkannya tanpa pernah tahu apakah akan ada
kesempatan untuk mewujudkan hal-hal itu.
Keinginan saya
sebenarnya sederhana saja. Tidak perlu suami yang benar-benar penyair seperti
bang Aan. Tidak perlu suami yang sangat romantis dan mahir menulis puisi. Saya hanya
menyimpan keinginan terpendam bahwa akan ada seseorang yang tulus menuliskan
satu puisi untuk saya tanpa diminta.
Hanya itu.
Tapi sesederhana itu
pun sepertinya sulit sekali untuk terjadi.
Kampus, 12 Juni 2014
Comments
Post a Comment