When the Love Falls
Jika suatu ketika –entah kapan, di mana dan bagaimana,
tiba-tiba takdir berbaik hati memberikan kepadaku sedikit waktu –hanya sedikit:
seperduabelas jam, lima menit, tiga ratus detik, hanya sejumput dari seluruh
hari yang kau punyai; dan hanya ada kita berdua, tanpa orang lain yang entah di
mana, maka inilah yang akan kulakukan.
***
Ran meloncat turun dari bus yang
membawanya.
Hal pertama yang dia lakukan begitu
kakinya menjejak tanah adalah menghirup napas dalam-dalam, merasakan bagaimana
udara di sana mengalir masuk dan memenuhi paru-parunya sebelum akhirnya dia
hembuskan lagi pelan-pelan. Sampai bus itu berlalu dan meneruskan perjalanan
menuju terminal yang tidak terlalu jauh dari sana, Ran masih berdiri di titik
semula, kepalanya mendongak sedikit mengawasi langit: tidak terlalu cerah, tapi
juga tidak begitu mendung. Gadis itu bersyukur hujan tidak turun siang ini,
sekalipun dia sudah menyiapkan sebuah payung berwarna oranye di dalam tasnya.
Menyadari bunyi bising kendaraan yang
begitu dekat di belakang punggungnya, Ran mulai melangkahkan kaki menjauh dari
tepi jalan. Sambil terus bergerak, bibir gadis itu tidak berhenti tersenyum
tipis dengan mata yang terus mengamati tempatnya berada: toko-toko kelontong,
rumah-rumah, pepohonan, coretan-coretan di pagar tembok, tiang listrik, papan
reklame, semua hal yang ada di sana –sekecil apapun.
Ran berhenti sejenak ketika menemukan
jalan itu, sebuah belokan yang mengarah ke sisi kiri dari tempatnya berdiri.
Sebuah gerbang melengkung di sana, mengarahkan pandangan pada sebuah jalan
lurus yang terus ke dalam. Ran tersenyum lagi. Dia tidak berpikir kota ini akan
terasa tidak terlalu jauh dari kotanya, sekalipun dia tidak pernah memperhatikan
berapa hitungan matematis jarak yang terbentang antara kedua kota itu.
Dan di sinilah dia sekarang: di kota
itu –tempat yang ingin dia datangi di antara sekian banyak kota yang ada,
dengan langit yang lebih dekat, udara yang lebih dekat, dan juga jalan yang
sama dengan yang pernah dia lalui
ratusan kali.
Ya, dia.
Satu-satunya alasan Ran berada di
sini.
***
–Menit pertama
Aku akan mengamatimu
baik-baik, seolah-olah saat itu adalah satu-satunya kesempatan di mana aku
dapat melakukannya.
Baju apa yang kau pakai:
modelnya, warnanya, bentuknya, coraknya, setiap detail dari keseluruhan yang
melekat di tubuhmu.
Bagaimana warna dan
jenis rambutmu: hitam pekat, lurus, tebal, tipis, kaku, panjang, pendek, apakah
helai-helai rambut itu bergerak ketika tertiup angin.
Seperti apa garis
rahangmu. Tegas? Kokoh? Keras?
Bentuk mata dan alismu.
Apakah lebar atau seperti bulan sabit atau bulat seperti biji kelengkeng?
Warna iris matamu.
Bibir, telinga, keseluruhan sosokmu: bagaimana kau berjalan, menggerakkan
tangan, mengangguk, menggeleng, menelengkan kepala, menoleh, menunduk, tersenyum,
bicara...
***
Ran menikmati setiap langkah pelannya.
Dia melirik jam tangan di pergelangan
tangan kirinya dan memutuskan tidak akan terburu-buru karena masih ada cukup waktu.
Gadis itu merasakan angin bertiup agak kencang menggerakkan rambut pendeknya yang
diikat agak tinggi di belakang, berkata dalam hati bahwa kota ini tidak sepanas
yang dia duga. Barangkali karena sekarang sedang musim hujan.
Ran sepenuhnya sadar tidak ada satu
orang pun yang menunggunya di kota itu, sekalipun dia sendiri menunggu untuk
bisa melihat seseorang. Ya, hanya orang itu saja. Ran terus menyusuri jalan itu
sambil berpikir apa yang sedang dia lakukan
sekarang –barangkali dia sedang bersiap-siap di suatu tempat atau sedang makan
siang bersama seseorang yang lain. Ran mengamati jalan itu baik-baik, mencoba
membayangkan bagaimana dia melewati
jalan itu hampir setiap hari. Perasaan senang yang tidak biasa melingkupinya
ketika dia berpikir bahwa mungkin saja kakinya menjejak bagian yang pernah
dilewati olehnya, sekalipun tidak ada
jejak yang bisa menunjukkan hal itu.
Pemikiran sederhana semacam itu bisa
juga dikategorikan tindakan konyol dan bodoh, tapi Ran tidak peduli karena dia
sudah terlalu sering melakukannya hanya demi menyenangkan hatinya sendiri.
Senyumnya makin lebar ketika kakinya
berhenti di depan sebuah gerbang yang lain.
Dia sudah sampai.
***
–Menit kedua
Seperti apa suaramu...
Dalam, berat, ringan,
rendah, tinggi...
Apakah memang cepat dan
rapat seperti kereta yang lewat selintas?
Maka demi mendengarnya
aku akan bertanya: “apa kabar?” barangkali juga “apakah kau sudah makan?” dan
pertanyaan-pertanyaan konyol lain. Aku tidak akan menyusunnya sekarang karena
semakin lama hanya akan terdengar semakin absurd. Ketika itu benar-benar terjadi,
aku akan mengatakan apapun yang terlintas di dalam pikiranku, tidak peduli
sekonyol apapun itu, dan mendengarmu mengucapkan jawabannya.
Suaramu...
Suara yang bisa kudengar
bahkan hanya dengan membaca pesanmu, seakan-akan kau benar-benar “mengatakannya”
ketika sedang “menuliskannya.”
Aku akan memperhatikan
baik-baik bagaimana caramu berbicara: apakah kau menggerakkan tanganmu, menatap
ke depan, sesekali tersenyum, menekuk satu kakimu, menyembunyikan kedua
tanganmu di belakang punggung atau melipat keduanya di depan dada?
Suaramu. Aku akan
merekamnya baik-baik sebagai salah satu suara yang paling ingin kudengarkan.
***
Ran akhirnya melihat bagaimana bentuk
bangunan itu sesungguhnya.
Dia tidak terlalu mempedulikan
orang-orang yang lalu lalang di sana, dan tidak ada seorang pun yang juga
repot-repot memperhatikan gadis yang berjalan sendirian itu. Dia terus berjalan
sekalipun tidak begitu tahu persis di mana letak tempat yang dia tuju. Beberapa
pohon cemara berbaris di tepi jalan yang dia lalui. Ran kembali memperhatikan
pepohonan dan rumput-rumput yang ada di sana, bertanya-tanya bagian manakah
yang paling dia sukai.
Langit yang redup tidak membiarkan
matahari tampak sepenuhnya, tapi dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan
turun hujan.
Kegembiraan kecil itu kembali meliputi
hati Ran ketika dia menemukan keramaian itu di halaman sebuah gedung lain.
Banyak orang sudah berkumpul di sana dengan sebuah panggung yang menjadi pusatnya. Ran tidak tahu arah, jadi dia tidak tahu ke
arah mana persisnya panggung itu menghadap. Dia hanya terus berjalan ke sana,
mencoba untuk bisa berdiri lebih dekat dengan menerobos kerumunan orang yang
bising dan menyemut di depan panggung.
Semakin langkahnya dekat, dadanya
diserang ketukan yang makin rapat.
Ran akhirnya berhenti sekitar dua
puluh langkah lagi dari depan panggung. Dia berdiri di sana dengan sabar,
seolah-olah dia rela menyerahkan begitu banyak waktu untuk berdiri menunggu di
sana. Tidak –tidak ada seorang pun yang menyuruhnya untuk datang, apalagi
menunggu. Dia melakukannya sendiri.
Dan tidak ada seorang pun yang tahu
tentang itu: bahwa dia datang, dan menunggu.
***
–Menit ketiga
Ini waktu yang penting.
Barangkali ketika itu
kita sama-sama terdiam karena terlalu canggung setelah lama tidak pernah
bertemu. Atau barangkali kita masih berbicara sambil saling memandang. Tidak
peduli apapun, saat itu adalah saat yang penting, jadi kalau kau masih
berbicara, aku akan membuatmu berhenti.
Ya. Sebab entah kapan
lagi aku akan punya kesempatan itu.
Aku akan mengumpulkan
semua keberanian yang kumiliki, semuanya –bahkan dari semua benda tidak hidup
yang ada di sana, jika perlu.
Lalu akan kutatap
matamu.
Dan kukatakan ini (ya,
kali ini aku sudah menyusunnya karena ini akan jadi terlalu sulit jika tidak
disusun dulu sebelum berhadapan denganmu):
“Aku tahu aku sudah
terlalu sering bertingkah aneh. Memintamu mengucapkan selamat ulang tahun,
ingin mendengar suaramu, mengirimkan puisi untukmu, bertanya apakah di sana
hujan atau terang. Aku juga sudah sering mengaku padamu kalau aku aneh
–sekalipun kau tidak pernah mau mengakuinya. Jadi kali ini, karena aku tidak
pernah tahu kapan lagi kita akan bertemu, tolong biarkan aku melakukan satu hal
aneh lagi –bisa jadi ini adalah hal paling aneh yang pernah kuminta padamu.
Tolong –biarkan aku
memelukmu.
Sebentar. Satu menit
saja.”
Ya. Memelukmu.
Apakah kedengarannya
aneh?
Sampai saat ini, selain
kedua orang tuaku, kakak dan adik dan keluargaku, aku hanya pernah memeluk dan
dipeluk anak-anak kecil. Hanya ada satu laki-laki, dewasa, yang pernah
memelukku: guruku sewaktu kelas VI SD. Waktu itu pak guru terlalu senang karena
aku menang lomba, jadi beliau memelukku. Aku masih ingat rasanya sampai
sekarang.
Entahlah kenapa setiap
kali membayangkan tentang pertemuan itu, selalu muncul keinginan untuk
memelukmu. Mungkin karena memeluk akan membuatmu lebih dekat, tidak berjarak.
Mungkin karena sebuah pelukan akan menyampaikan lebih banyak dibanding
kata-kata. Mungkin...
Aku tidak akan tahu jika
tidak melakukannya.
Apa yang akan kau
lakukan –atau kau katakan?
Apakah kau akan terdiam,
menatap kosong padaku karena terlalu terkejut dan berpikir bahwa semuanya tidak
masuk akal?
“Gadis di depanku ini benar-benar gila. Aku mulai takut padanya.”
Apakah kau akan
menggeleng dan berkata “tidak” ?
Tidak –sungguh, jangan.
Kau harus berkata “iya.” Harus, sekalipun tidak ada kuasa yang membuatku berhak
memaksamu.
***
Ran menunggu hanya untuk waktu seperti
ini.
Ya, ketika akhirnya mata gadis itu
terpaku pada satu titik yang menjadi pusat gravitasinya sekarang. Dia sudah
tidak tersenyum. Ekspresi yang tergambar di wajahnya adalah perpaduan antara
keterkejutan dan kegembiraan sekaligus. Iris matanya melebar dan kemudian
kelopak matanya mengedip dengan cepat beberapa kali, seakan ingin memastikan
bahwa dia sepenuhnya sedang tersadar sekarang.
Ketukan di dadanya makin rapat.
Gi.
Satu kata lolos dari bibirnya dengan
begitu pelan, seperti bisikan yang hanya bisa didengarnya sendiri. Ya, nama
itu. Nama yang menjadi semacam mantra untuk dirapalkan. Sekarang nama itu
menjelma menjadi satu sosok nyata, bukan hanya sebuah nama yang terdiri dari
dua huruf untuk dituliskan atau dilafalkan saja. Ran akhirnya benar-benar yakin
bahwa dia nyata, dia hidup, dia berjalan
dan juga bernapas, sama sepertinya.
Dan yang paling penting dari semua itu
adalah: dia ada di depan Ran
sekarang, dalam jarak dua puluh langkah. Pertanyaan apakah sosok itu menyadari
atau bahkan hanya sekedar mengetahui keberadaan Ran di sana ataukah tidak,
bukan lagi soal yang penting. Ran tidak peduli karena melihatnya ada dan nyata berdiri di sana saja
sudah cukup.
Sosok itu tersenyum tipis, lalu
menunduk untuk mengepaskan posisi bass di tangannya.
Tidak satu detik pun, tidak ada waktu
yang terlewat tanpa mata Ran terarah kepadanya. Lagu yang memenuhi udara dan
dilantunkan pelan oleh beberapa orang di sampingnya tidak begitu Ran pahami.
Dia hanya tahu satu titik dan tidak butuh hal lain untuk diperhatikan. Cukup
satu sosok saja.
Gi memakai jeans hitam dan t-shirt
putih dengan warna coklat di bagian lengan. Keseluruhan sosoknya hampir sama
persis dengan yang Ran bayangkan selama ini, hanya saja jarak mereka terlalu
jauh untuk bisa mengetahui apa warna mata sosok itu. Bagaimana caranya
menunduk, mengangkat wajah, mengedarkan pandangan, memainkan senar bassnya, menolehkan
kepala, tersenyum tipis, semuanya akan Ran rekam baik-baik.
Tidak ada waktu yang bergerak terlalu
lambat ketika kegembiraan sedang memenuhi perasaanmu.
Hanya kurang dari lima menit dan lagu
itu berakhir.
Gi meletakkan bass hitamnya lagi.
Tidak, Ran tidak punya cukup
keberanian konyol untuk menemuinya. Dia hanya menempuh perjalanan selama tiga
jam itu untuk lima menit yang ini, bukan
lima menit yang selalu dia bayangkan.
Ketika punggung Gi menghilang ke
samping panggung, Ran juga berbalik dan melangkahkan kakinya untuk pergi. Dia
tidak menyesali apapun atas kedatangannya. Bisa melihat kota itu, bisa
menghirup udara yang sama, bisa memastikan bahwa sosok itu memang hidup dan
nyata, semuanya sudah lebih dari cukup.
Dia tidak ingin membuat dirinya tampak
lebih bodoh lagi. Tapi tetap saja rasanya agak sesak ketika dia mengingat lagi
kalimat yang ingin bisa diucapkannya sejak pertama kali menjejakkan kaki di
kota ini.
Aku
datang.
***
–Menit keempat
Apapun jawabanmu, aku
tidak akan peduli. Ya. Aku gila. Biar saja. Sekali ini.
Tapi sebenarnya, aku juga
tidak tahu. Bagaimana caranya memeluk?
Aku akan membayangkannya
saja, seakan-akan itu akan terjadi besok pagi, atau nanti sore, atau suatu hari
nanti.
Menatap matamu –yang
entah terkejut, takut, kosong, atau heran. Kemudian berjalan ke arahmu. Ya,
seperti yang selalu kulakukan selama ini: mencoba berjalan ke arahmu. Aku ragu
tubuh atau tanganku tidak akan gemetar. Baiklah. Apa susahnya memeluk? Aku bisa melakukannya tanpa
berpikir. Aku hanya harus memelukmu, melingkarkan
kedua tanganku di lehermu (baiklah, membayangkannya saja membuatku gemetar, aku
tidak tahu apa aku bisa benar-benar melakukannya).
Ketika itulah...
Detak jantungmu begitu
dekat sampai aku bisa mendengarnya. Seperti apa iramanya? Ketukannya? Dan
nafasmu. Wangi parfummu, barangkali, atau aroma tubuhmu. Saat itulah, aku
berharap aku tidak perlu berkata apapun, dan kau akan mengerti. Bukankah itu
mungkin, menyampaikan sesuatu tanpa perlu berkata-kata? Aku tahu kau akan
mengerti, atau setidaknya kau akan tahu, atau memahami, atau apapun istilahnya,
bahwa selama ini aku selalu melihat ke
arahmu.
Ya. Selalu ke arahmu.
Dan kau juga tidak perlu
berkata-kata.
***
Belum terlalu terlambat untuk kembali
ke kotanya sekarang.
Lagipula, dia memang tidak pernah
punya rencana untuk bermalam. Tidak ada seorang pun yang dikenalnya di kota ini
–tentu saja Gi tidak dihitung. Apakah mereka berdua cukup mengenal dengan baik
ataukah tidak, Ran juga tidak tahu.
Jari-jari tangan kanannya bergerak
menyentuh daun-daun pohon cemara ketika dia berjalan, lagi-lagi memikirkan
bayangan konyol apakah Gi juga pernah menyentuh daun-daun cemara itu. Kepalanya
mendongak ke langit, kali ini berharap gerimis akan turun.
Gi selalu suka hujan karena beberapa
alasan.
Ran menemukan kebodohan lain bahwa dia
selalu berakhir dengan menyukai segala macam hal yang disukai Gi.
Gadis itu tertunduk lagi sambil
tertawa kecil. Betapa semua ini terasa aneh dan wajar sekaligus. Dia jatuh
cinta pada orang yang belum pernah ditemuinya.
Apakah pantas?
Dia bahkan belum pernah mendengar
bagaimana Gi mengucapkan namanya.
“Ran.”
Kepalanya terangkat lagi. Dia berhenti
di titik itu, terlalu kaku untuk mencoba menoleh.
“Ran.”
Suara itu benar-benar dekat di
belakang punggungnya. Ran mengatur napas, bertanya-tanya apakah delusinya sudah
benar-benar keterlaluan sekarang. Jadi dia membalikkan badan untuk memastikan.
Dan senyum itu menyambutnya.
Terlalu panjang untuk digambarkan
bagaimana gelombang keterkejutan itu menguasainya lagi.
Gi berdiri di depannya, menumpukan beban
tubuhnya pada satu kaki dengan dua tangan dimasukkan ke saku celana.
“Kau datang.”
Kalimat itu lebih terdengar seperti
pernyataan dibandingkan pertanyaan, seolah-olah Gi memang tahu bahwa gadis itu
akan datang.
Lupakan tentang lima menit yang selalu
Ran bayangkan. Lupakan tentang basa basi yang harusnya bisa dia kerjakan.
Lupakan tentang rencananya untuk mengetahui apa warna mata Gi. Lupakan semuanya
karena dia memang tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
***
–Menit kelima
Aku akan membiarkan
semua itu berakhir dengan sendirinya.
Apakah kau akan pergi
begitu saja, akan diam, akan bicara –aku hanya akan tetap berdiri di sana dan
memandangmu, memperhatikanmu sekali lagi, meneliti detail-detail tentang
sosokmu yang barangkali kulewatkan, dan merekamnya baik-baik.
***
Gi masih saja tersenyum ketika dia
melangkahkan kakinya mendekat.
“Kau sudah akan pulang?” tanyanya.
Ran tidak bisa memikirkan hal lain
selain menganggukkan kepala. Kenyataan bahwa Gi bisa mengenalinya –dan
menemukannya, masih terlalu sulit untuk diterima begitu saja.
“Bagaimana....”
Pertanyaan itu menggantung di bibirnya
ketika Gi malah balas menanyakan hal lain.
“Kau melupakan sesuatu?”
Ran menatapnya bingung.
“Kau menulis bahwa kau ingin melakukan
ini kalau bertemu denganku.”
Dan Gi merengkuh tubuhnya ke dalam
sebuah pelukan. Ran merasa napasnya berhenti saat itu juga.
Pelukan itu...
Pelukan yang sudah tidak terhitung
berapa kali dia bayangkan.
Pelukan yang membuatnya sesak napas
setiap kali membayangkannya.
Pelukan yang dia kira tidak akan
pernah menjadi kenyataan.
Tapi sekarang dia merasakannya:
bagaimana tangan Gi melingkari tubuhnya, bagaimana rasanya menyandarkan dagu di
bahu Gi, bagaimana bunyi detak jantungnya, bagaimana aroma tubuhnya...
Semuanya seketika menjadi candu.
“Bagaimana...”
Suaranya parau ketika dia mencoba
untuk bertanya.
“...kau bisa tahu?”
***
Lima menit saja.
Satu pelukan.
Dan semoga kau mengerti
tanpa harus kukatakan.
Gila, ya?
Iya. Karenamu aku jadi begini
gila.
***
Dia merasakan Gi tersenyum tanpa
melepaskan pelukan itu.
“Tentu saja aku selalu tahu. Aku
membaca catatan-catatanmu di blog itu.”
Dan Ran tidak bisa menahan diri untuk
tertawa kecil, sekali lagi menemukan bahwa dia begitu bodoh.
Dan begitu tidak ingin melepaskan
sosok itu dari pelukannya.
Semarang, 16 Januari 2014: 10.57’
Untuk
menyenangkan perasaanku sendiri
*judul diambil dari salah satu lagu yiruma
tau nggak, apa yang ada dipikiranku pas baca cerpen kamu ini? "ihhhh.... ini akuuu bangeeeeeeettttt" :3. bagus mbak. salam kenal ya:)
ReplyDeletemakasih..... >_<
ReplyDeletepunya cinta diam-diam juga ya? hihihi
salam kenal juga :D