lima menit, satu peluk, beribu degup
Jika suatu ketika –entah
kapan,di mana dan bagaimana, tiba-tiba takdir berbaik hati memberikan kepadaku
sedikit waktu –hanya sedikit: seperduabelas jam, lima menit, tiga ratus detik,
hanya sejumput dari seluruh hari yang kau punyai; dan hanya ada kita berdua,
tanpa orang lain yang entah di mana, maka inilah yang akan kulakukan.
–Menit pertama
Aku akan mengamatimu
baik-baik, seolah-olah saat itu adalah satu-satunya kesempatan di mana aku
dapat melakukannya.
Baju apa yang kau pakai:
modelnya, warnanya, bentuknya, coraknya, setiap detail dari keseluruhan yang
melekat di tubuhmu.
Bagaimana warna dan
jenis rambutmu: hitam pekat, lurus, tebal, tipis, kaku, panjang, pendek, apakah
helai-helai rambut itu bergerak ketika tertiup angin.
Seperti apa garis
rahangmu. Tegas? Kokoh? Keras?
Bentuk mata dan alismu. Apakah
lebar atau seperti bulan sabit atau bulat seperti biji kelengkeng?
Warna iris matamu. Bibir,
telinga, keseluruhan sosokmu: bagaimana kau berjalan, menggerakkan tangan,
mengangguk, menggeleng, menelengkan kepala, menoleh, menunduk, tersenyum,
bicara...
–Menit kedua
Seperti apa suaramu...
Dalam, berat, ringan,
rendah, tinggi...
Apakah memang cepat dan
rapat seperti kereta yang lewat selintas?
Maka demi mendengarnya
aku akan bertanya: “apa kabar?” barangkali juga “apakah kau sudah makan?” dan
pertanyaan-pertanyaan konyol lain. Aku tidak akan menyusunnya sekarang karena
semakin lama hanya akan terdengar semakin absurd. Ketika itu benar-benar
terjadi, aku akan mengatakan apapun yang terlintas di dalam pikiranku, tidak
peduli sekonyol apapun itu, dan mendengarmu mengucapkan jawabannya.
Suaramu...
Suara yang bisa kudengar
bahkan hanya dengan membaca pesanmu, seakan-akan kau benar-benar “mengatakannya”
ketika sedang “menuliskannya.”
Aku akan memperhatikan
baik-baik bagaimana caramu berbicara: apakah kau menggerakkan tanganmu, menatap
ke depan, sesekali tersenyum, menekuk satu kakimu, menyembunyikan kedua
tanganmu di belakang punggung atau melipat keduanya di depan dada?
Suaramu. Aku akan
merekamnya baik-baik sebagai salah satu suara yang paling ingin kudengarkan.
–Menit ketiga
Ini waktu yang penting.
Barangkali ketika itu
kita sama-sama terdiam karena terlalu canggung setelah lama tidak pernah
bertemu. Atau barangkali kita masih berbicara sambil saling memandang. Tidak peduli
apapun, saat itu adalah saat yang penting, jadi kalau kau masih berbicara, aku
akan membuatmu berhenti.
Ya. Sebab entah kapan
lagi aku akan punya kesempatan itu.
Aku akan mengumpulkan
semua keberanian yang kumiliki, semuanya –bahkan dari semua benda tidak hidup
yang ada di sana, jika perlu.
Lalu akan kutatap
matamu.
Dan kukatakan ini (ya,
kali ini aku sudah menyusunnya karena ini akan jadi terlalu sulit jika tidak
disusun dulu sebelum berhadapan denganmu):
“Aku tahu aku sudah
terlalu sering bertingkah aneh. Memintamu mengucapkan selamat ulang tahun,
ingin mendengar suaramu, mengirimkan puisi untukmu, bertanya apakah di sana
hujan atau terang. Aku juga sudah sering mengaku padamu kalau aku aneh –sekalipun
kau tidak pernah mau mengakuinya. Jadi kali ini, karena aku tidak pernah tahu kapan
lagi kita akan bertemu, tolong biarkan aku melakukan satu hal aneh lagi –bisa jadi
ini adalah hal paling aneh yang pernah kuminta padamu.
Tolong –biarkan aku
memelukmu.
Sebentar. Satu menit
saja.”
Ya. Memelukmu.
Apakah kedengarannya
aneh?
Sampai saat ini, selain
kedua orang tuaku, kakak dan adik dan keluargaku, aku hanya pernah memeluk dan
dipeluk anak-anak kecil –keponakanku, murid-muridku. Hanya ada satu laki-laki,
dewasa, yang pernah memelukku: guruku sewaktu kelas VI SD. Waktu itu pak guru
terlalu senang karena aku menang lomba, jadi beliau memelukku. Aku masih ingat
rasanya sampai sekarang.
Entahlah kenapa setiap
kali membayangkan tentang pertemuan itu, selalu muncul keinginan untuk
memelukmu. Mungkin karena memeluk akan membuatmu lebih dekat, tidak berjarak. Mungkin
karena sebuah pelukan akan menyampaikan lebih banyak dibanding kata-kata. Mungkin...
Aku tidak akan tahu jika
tidak melakukannya.
Apa yang akan kau
lakukan –atau kau katakan?
Apakah kau akan terdiam,
menatap kosong padaku karena terlalu terkejut dan berpikir bahwa semuanya tidak
masuk akal?
“Gadis di depanku ini benar-benar gila. Aku mulai takut padanya.”
Apakah kau akan
menggeleng dan berkata “tidak” ?
Tidak –sungguh, jangan. Kau
harus berkata “iya.” Harus, sekalipun tidak ada kuasa yang mambuatku berhak
memaksamu.
–Menit keempat
Apapun jawabanmu, aku
tidak akan peduli. Ya. Aku gila. Biar saja. Sekali ini.
Tapi sebenarnya, aku
juga tidak tahu. Bagaimana caranya memeluk?
Aku akan membayangkannya
saja, seakan-akan itu akan terjadi besok pagi, atau nanti sore, atau suatu hari
nanti.
Menatap matamu –yang entah
terkejut, takut, kosong, atau heran. Kemudian berjalan ke arahmu. Ya, seperti
yang selalu kulakukan selama ini: mencoba berjalan ke arahmu. Aku ragu tubuh
atau tanganku tidak akan gemetar. Baiklah. Apa susahnya memeluk? Aku bisa melakukannya tanpa berpikir. Aku hanya harus memelukmu, melingkarkan kedua tanganku
di lehermu (baiklah, membayangkannya saja membuatku gemetar, aku tidak tahu apa
aku bisa benar-benar melakukannya).
Ketika itulah...
Detak jantungmu begitu
dekat sampai aku bisa mendengarnya. Seperti apa iramanya? Ketukannya? Dan nafasmu.
Wangi parfummu, barangkali, atau aroma tubuhmu. Saat itulah, aku berharap aku
tidak perlu berkata apapun, dan kau akan mengerti. Bukankah itu mungkin,
menyampaikan sesuatu tanpa perlu berkata-kata? Aku tahu kau akan mengerti, atau
setidaknya kau akan tahu, atau memahami, atau apapun istilahnya, bahwa selama
ini aku selalu melihat ke arahmu.
Ya. Selalu ke arahmu.
Kau juga tidak perlu
berkata-kata.
–Menit kelima
Aku akan membiarkan semua
itu berakhir dengan sendirinya.
Apakah kau akan pergi
begitu saja, akan diam, akan bicara –aku hanya akan tetap berdiri di sana dan
memandangmu, memperhatikanmu sekali lagi, meneliti detail-detail tentang
sosokmu yang barangkali kulewatkan, dan merekamnya baik-baik.
Lima menit saja.
Satu pelukan.
Dan semoga kau mengerti
tanpa harus kukatakan.
Gila, ya?
Iya. Karenamu aku jadi
begini gila.
Kampus, 3 Januari 2014 (ah~~ apakah ini bisa dianggap keinginan di awal
tahun? ^^ )
Comments
Post a Comment