Sebuah Pertemuan

Suatu sore.
Aku selalu menginginkannya sebagai suatu sore yang cerah, ketika langit menjadi oranye dengan sisa cahaya matahari yang hangat dan lembut. Tempat itu penuh dengan orang, apalagi di senja semacam itu. Kau akan mencium harum jagung bakar, sate, nasi goreng, dan segala makanan yang membuatmu ingin mencicipinya.
Tidak ada yang terlalu istimewa dengan tempat itu.
Kita juga tidak pernah punya kenangan dengan tempat itu.
Tapi entahlah.
Kau berjalan ke satu arah, dan aku berjalan ke arah sebaliknya. Awalnya kita tidak saling melihat. Kau berbicara dengan seseorang, sesekali tersenyum sambil memiringkan kepalamu. Aku berjalan sendiri, sesekali melihat langit atau ke tepi jalan. Kita, dua orang yang sudah lama tidak bertemu dan seolah saling melupakan, akhirnya dipertemukan oleh tangan takdir.
Sore itu.
Ketika langit begitu cerah, persis seperti yang pernah ingin kulihat bersamamu. Dulu.
Mata kita bertatapan. Wajahmu terkejut. Aku juga. Selama beberapa detik aku mengamati wajahmu, matamu, tentu saja. Masih sama. Mata yang terlanjur melekat dalam ingatan, mata yang selalu membuatku jatuh cinta. Barangkali kau bingung harus berbuat apa. Apakah harus terus berjalan dan membuat kita benar-benar berpapasan? Ataukah harus berbalik dan pura-pura tidak melihatku?
Aku selalu menginginkan pertemuan semacam itu.
Jadi aku terus berjalan dengan kepala tegak. Sambil tersenyum. Bukankah aku ingin melihat wajahmu, setidaknya untuk satu kali lagi? Dan senja yang tidak pernah kita lihat berdua akhirnya tiba juga.
Sebuah senja yang lain. Dengan orang yang lain dan perasaan yang lain.
Sekalipun langit begitu lembut seperti arum manis, sekalipun udara dan semuanya begitu harum dan membuatku ingin menulis puisi, tapi bagaimanapun juga keadaannya lain dan tidak ada lagi puisi yang mesti kutuliskan buatmu.
Akhirnya kita benar-benar berpapasan.
Sebenarnya tidak ada terlalu banyak kenangan yang tersimpan, kalau kita mau berhitung. Tapi yang sedikit itu pernah menjadi ratusan puisi, bukan?  Hanya beberapa pertemuan, ada puluhan lembar, lebih dari seratus hari, bisakah aku membiarkannya menguap begitu saja? Sekalipun semuanya kau bakar, tidak ada yang terlalu mudah untuk dilepaskan.
Aku tersenyum. Harus.
Kau harus terlihat baik-baik saja di depan orang yang telah melukaimu.
Maka aku tersenyum padamu, dan padanya juga. Kau pun harus tersenyum ketika aku mengulurkan tangan.
“Sudah lama sekali, ya. Apa kabar?”
Aku selalu menunggu saat-saat untuk bisa mengucapkan kalimat itu. Seperti seorang teman lama. Bukan seseorang dari masa lalu.
“Ah, ini pasti dia, cantik sekali. Apa kabar?”
Aku kembali mengulurkan tangan padanya, yang berdiri di sampingmu. Adik cantik berambut panjang yang suka main voli, bukan? Dia cantik, tentu saja. Lebih cantik  dibanding yang pernah kulihat di foto yang kau perlihatkan padaku waktu itu.
“Ah, aku harus pergi. Sampai jumpa lagi.”
Kita saling memberikan senyum penghabisan.
Aku berjalan. Kalian kembali berjalan ke arah berlawanan.
Dan kita kembali menjadi orang asing.
Begitulah, aku selalu membayangkan pertemuan kita. Sejak perpisahan itu.



Semarang, 12 Juni 2013: 08.00’

Comments

Popular Posts