Review Film: Venom (2018)
taken from cloudfront.net |
Sebagai penggemar superhero Marvel, Abang tidak pernah mau ketinggalan menonton film-filmnya dalam minggu pertama rilis. Larisnya film-film berbau Marvel selalu membuat tiket pre-sale-nya sudah dijual paling tidak satu minggu sebelum pemutaran perdana. Hal itulah yang akan membuat Abang langsung mengisi saldo M-Tix-nya agar bisa membeli tiket di hari-hari paling awal.
Ketika poster Venom sudah dipasang di bioskop dan trailer-nya keluar di Youtube, tentu saja Abang juga sudah menunggunya. Sebenarnya saya tidak kenal superhero Marvel selain X-Man yang dulu sering ditayangkan di televisi. Tapi sejak mengenal Abang, saya jadi sering menonton film Marvel di bioskop. Bahkan akhirnya saya menonton sendiri hampir semua filmnya agar bisa memahami jalinan antarfilm yang kadang jadi rumit kalau kita tidak tahu apa saja yang sudah terjadi pada film sebelumnya. Kalau sekarang, saya jadi sudah ketularan menyukai film-film Marvel. Selain jalan ceritanya menarik, humor khasnya juga bisa membuat saya tertawa lepas (Ya, receh sekali memang saya ini).
Saya tidak punya ekspektasi apapun karena memang saya tidak pernah membaca komik-komik Marvel. Venom pun hanya saya kenal lewat film Spiderman dulu, sebagai semacam alien yang bentuknya mirip slime. Ya, sebut saja begitu.
Adegan dibuka dengan roket yang jatuh setelah misi perjalanannya ke luar angkasa. Berhubung jatuhnya di negara tetangga kita Malaysia, saya agak menahan tawa ketika ada dialog dalam bahasa Melayu. Bukan karena lucu, tapi karena saya teringat Upin dan Ipin lalu membayangkan bahwa yang bicara itu adalah mereka.
Sekitar setengah jam pertama, saya bilang adegannya agak datar (berkisar pada keseharian Eddie Brock dan pacarnya serta kegiatan Carlton Drake di laboratorium). Mungkin karena saya terbiasa dengan film Marvel yang selalu kocak sejak awal, jadi saya agak bosan. Tapi saya tidak sampai ketiduran seperti ketika menonton Civir War atau Jutice League hahaha (dasarnya memang ngantukan).
Jalan cerita mulai agak menarik ketika Venom sudah bersimbiot dengan Eddie. Dari sini juga mulai muncul sedikit humor karena pertentangan Venom dan Eddie yang sebenarnya punya sifat agak mirip (sama-sama pecundang dan sok idealis).
Secara keseluruhan, menurut saya film ini mudah ditebak alurnya. Simpel dan tipikal. Dibanding adegan laga, porsi lebih banyak ada pada dialog atau adegan yang membangun alur. Bagi kalian yang baperan, mungkin kalian bisa sedikit tersentuh dengan hubungan romantis antara Eddie dan pacarnya (kalau saya justru tersentuh pada hubungan antara Eddie dan Venom hahaha). Namun bagi kalian yang berharap film ini akan sekocak Deadpool atau Ant Man, maaf kalian tidak akan mendapatkannya. Tapi apapun itu, film ini tetap layak untuk ditonton.
Oh ya, jangan lupa untuk tetap duduk menunggu sampai akhir, ya. Karena seperti biasa, ada post credit scene yang sayang untuk dilewatkan. Bukan hanya satu, tapi ada dua!
Oh ya, jangan lupa untuk tetap duduk menunggu sampai akhir, ya. Karena seperti biasa, ada post credit scene yang sayang untuk dilewatkan. Bukan hanya satu, tapi ada dua!
YK, 6 Oktober 2018
Comments
Post a Comment