Cerita Pengantin Baru 6: Bukan Kekasih, tapi Teman Hidup
Sejak dulu saya memang orang yang suka menye-menye.
Waktu kuliah dan sedang gandrung-gandrungnya pada Bang Aan Mansyur, saya ingin sekali punya suami yang puitis. Pokoknya saya sangat sensitif, gampang baperan dan galau-an. Dengar lagu melo sedikit langsung ingat yang sedih-sedih, langsung nulis puisi patah hati; lihat bunga rumput di pinggir jalan dipetikin, bahkan pohon jabon di samping kelas kadang-kadang saya ajak ngobrol. Hahaha. Rasanya sudah lama sekali masa-masa itu terjadi. Sekarang mau dengar lagu se-melo apapun sudah nggak ngaruh lagi. Mungkin karena memang hati sudah nggak galau seperti dulu.
Ketika saya memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga (serius banget ya hahaha), kriteria-kriteria yang dulu saya inginkan hilang seketika (Kenapa saya tidak menulis “ketika umur saya sudah cukup untuk menikah”? Karena menurut saya, ukuran seseorang siap menikah itu bukanlah hitungan umur ataupun tuntutan sosial, tapi keinginan dan kebutuhan diri sendiri.) Waktu itu saya hanya menginginkan seseorang yang mau menerima saya sebagai teman dan bersedia menjadi teman saya.
Seorang teman yang baik selalu bersedia mendengarkan, berbagi cerita, saling membantu, mengingatkan jika ada yang salah, tidak malu melakukan hal-hal konyol bersama, saling mendukung, memberi, menerima dan memaafkan. Mungkin karena itulah suami atau istri disebut sebagai teman hidup, bukan kekasih hidup.
Ada yang pernah berkata, “Siapa yang jatuh cinta lebih dulu, maka dialah yang kalah.” Tapi saya sungguh tidak ingin ada ketimpangan dalam suatu hubungan, karena berjuang sendirian itu tidak menyenangkan, bukan? Apakah kita yang mencintai atau yang terlalu dicintai, keduanya sama-sama tidak nyaman menurut saya. Saya ingin hubungan yang paling tidak mendekati seimbang: sama-sama memberi, menerima dan berjuang. Karena itulah saya menginginkan seorang teman, karena siapa sih yang mau berteman dengan seseorang kalau hubungannya nggak nyaman? Lain dengan “pacaran” atau memilih “kekasih”. Kadang masih ada pertimbangan lain semacam tampilan fisik yang menarik, kemapanan finansial, karena kadung cinta buta, atau hanya sekedar menuruti gengsi. Kalau pertemanan? Teman yang sejati tentunya tidak memikirkan tampilan wajah atau ketebalan kantong saja. Kalau memang orang itu adalah pribadi yang tidak menyenangkan untuk dijadikan teman, buat apa kita mendekat? Lebih baik untuk menjaga jarak.
Sebenarnya kalau ditanya, “kenapa sih saya mau menikah dengan si abang?”, otak saya bisa menyusun banyak jawaban. Tapi yang paling utama adalah karena saya yakin. Keyakinan itu penting. Datangnya dari diri saya sendiri; bukan dari orang tua, teman, bukan karena iri pada teman yang sudah menikah duluan, bukan karena ingin mencari yang lebih baik atau yang terbaik, bukan karena pelarian dari patah hati, bukan karena apapun selain karena saya memang sudah yakin. Rasaya hanya karena “oh… dia ini memang orangnya, yang ingin saya ajak bersama-sama menjalani hidup selanjutnya.” Kemudian keyakinan itu diikuti dengan banyak pemikiran positif, bukan ketakutan pada masa depan “bagaimana kalau besok begini,” “bagaimana kalau besok begitu,” “bagaimana kalau suatu hari dia berubah,” dan bagaimana-bagaimana yang lain. Ketakutan itu memang selalu akan ada sebagai bagian dari diri manusia, tapi keyakinan yang ada dalam diri sendiri akan lebih dominan dan mengendalikan semuanya.
Seorang sahabat saya pernah bilang, dia ingin punya suami yang bahkan dengan diamnya pun membuat kita nyaman. Artinya ketika kita berdua sudah kehabisan bahan pembicaraan, bahkan duduk berdua dalam keheningan bersamanya pun sudah membuat kita bahagia. Syahdu sekali, kan?
Saya setuju dengan sahabat saya ini.
Mau tak mau saya jadi membayangkan suatu senja pada hari tua, barangkali kami akan duduk berdua di teras belakang dengan dua cangkir teh tanpa gula. Matahari tenggelam pada langit yang kemerahan, sementara kami memandangi pot-pot bunga dan sayuran hijau di sepetak tanah halaman belakang itu. Betapa menyenangkan.
Maka, kawan, yang ingin saya sampaikan adalah carilah teman hidup, bukan hanya sekedar status suami atau istri. Barangkali pernikahan saya baru usia empat bulan (judulnya saja cerita pengantin baru hahaha), tapi tidak ada salahnya untuk sedikit berbagi. Tidak perlulah mendengarkan kata-kata banyak orang soal pencarian jodoh yang belum kunjung datang. Sebab, percayalah jika kelak pernikahanmu tidak sesuai impian, toh mereka pun tidak akan menolongmu. Kebahagiaan itu kita sendiri yang tentukan. Soal bagaimana cara yang kita pilih, itu ada di tangan kita sendiri, bukan tangan orang lain.
Yogyakarta, 26 September 2017
Comments
Post a Comment