Jalan Panjang Menuju Pernikahan



  
Bagi saya, pernikahan adalah sesuatu yang luar biasa mengagumkan.

Ada dua orang berbeda kelamin yang tadinya adalah orang asing, tapi kemudian mereka bisa hidup bersama-sama dalam kurun waktu yang begitu lama -bahkan hingga maut memisahkan.

Tentu saja ada orang-orang yang tidak ingin menikah dengan berbagai alasan. Bagi mereka menikah bukanlah prioritas. Tapi saya tidak termasuk di dalamnya. Saya ingin menikah. Tentu saja bukan semata-mata karena tuntutan sosial dan orang tua, tapi karena saya merasa saya memang membutuhkannya.

Saya yang melankolis dan suka menye-menye ini telah melewati cukup banyak hal. Saya juga pernah melewati fase galau dan alay a la remaja kebanyakan. Saya sering jatuh cinta untuk kemudian patah hati atau bertepuk sebelah tangan. Teman dekat lelaki pertama yang saya punyai di kelas 2 SMA meninggal enam bulan setelah kami saling menyatakan cinta, karena sebuah kecelakaan motor (karena itulah sampai sekarang saya sering panik jika tidak ada kabar selama beberapa jam dari seseorang). Setelahnya, selama kuliah saya menjalani satu kali LDR yang putus di tengah jalan. Saat sudah lulus dan bekerja, saya menjalani dua kali LDR lagi yang keduanya juga tidak bertahan sampai satu tahun.

LDR pertama terpaksa putus di tengah jalan karena dia berkata dia tidak sanggup dengan jarak yang memisahkan. Waktu itu saya masih ngeyel, membujuk dengan segala cara agar kami bisa dipertahankan. Tapi dia tetap kukuh dengan pendapat bahwa sudah seharusnya dua orang yang menjadi pasangan hidup berdampingan, bukan berjauhan. Saya marah. Kecewa. Sedih. Tapi masih optimis dengan LDR hingga saya menjalaninya untuk kali ketiga.

Ternyata, masih belum jodoh juga.

Meminjam kata-kata Bang Alit Susanto dalam sebuah tulisannya, pada sebuah hubungan LDR, orang sering menyalahkan jarak. Padahal bukan jarak pembunuhnya, tapi kitalah pelakunya. Ya. Barangkali benar. Saya adalah pelakunya. Saya manja. Saya cengeng. Saya memang bukan perempuan mandiri.

Suatu hari setelah menjalani beberapa bulan yang bahagia di Jogja, saya sakit.

Di kos lama saya dekat UNY, saya tidak punya siapa-siapa. Teman kos yang kebanyakan mahasiswa tidak saya kenal. Dua orang yang saya kenal lebih sering sibuk di luar kos karena menjadi aktivis dan punya pekerjaan sampingan. Saya pulang cepat dari kantor dengan tubuh tidak karuan, kemudian tidur di kamar sampai hari gelap. Tidak ada orang yang menyalakan lampu depan karena belum ada yang pulang. Saya bangun, menyalakan lampu kamar dan lampu depan, kemudian baru sadar saya lapar dan haus. Saya menahan tangis mengingat ibu saya yang jaraknya ratusan kilometer. Di tempat yang jauh ini, siapa yang bisa saya mintai tolong? Bahkan untuk mencari makan pun akhirnya saya harus keluar sendiri, naik motor dengan kepala pening dan badan lemas. Saya ingat saya kemudian berhenti di salah satu angkringan di pinggir jalan Sagan, memesan segelas jahe hangat dan makan sebungkus nasi kucing (tidak peduli dengan banyak pembeli lain yang semuanya laki-laki).

Hari itu saya sadar. Saya memang cengeng. Saya manja dan lebay. Saya tidak sanggup jika harus hidup sendirian di tempat yang jauh ini. Boleh saja kalian bilang harusnya saya bisa meminta tolong tetangga. Ya, bisa saja. Tapi apakah tetangga juga akan selalu siap sedia? Apakah pergaulan di sini yang notabene lingkungan perkotaan sama dengan lingkungan rumah saya di desa? Kamu boleh saja menuduh saya pengecut, tidak percaya pada pertolongan Tuhan. Saya punya pemikiran yang kompleks dan kalian tidak bisa menghakimi saya hanya karena satu keputusan yang saya ambil.

Jika memang jodoh, saya percaya Dia pasti akan memberikan keyakinan itu apapun masalahnya. Jika saya tidak yakin, buat apa? Teman saya yang baru dikenalkan beberapa lama oleh orang tuanya dengan seorang lelaki langsung memutuskan untuk menikah. Kenapa? Tentu saja karena dia yakin, padahal dia belum kenal baik orang itu. Lalu apa dan siapa jika bukan Dia yang menanamkan keyakinan itu dalam hati keduanya?

Saya pun akhirnya bisa memahami pendapat dia yang dulu saya tentang habis-habisan. Saya pun kemudian menyimpulkan bahwa saya memang tidak sanggup menjalani LDR. Saya tidak setangguh perempuan-perempuan lain yang bisa menjalaninya dengan baik. Saya benar-benar tidak bisa setelah tiga kali mencobanya.

Di tengah kepasrahan itu, ternyata ada satu sosok yang datang tanpa disangka-sangka.

Dia seorang teman biasa yang selama ini sudah ada di sana, tapi tidak pernah menerbitkan rasa apapun sebelumnya. Dia seorang lelaki kurus jangkung yang pertama kali saya lihat memakai jaket parasut biru. Wajahnya datar tanpa senyum. Saya pikir dia orang kaku yang tidak bisa bercanda. Saya bahkan heran waktu pertama kali mendengar dari teman bahwa dia biasanya ikut karaoke. Beberapa kali bertemu saat kumpul karaoke ataupun makan, kami masih belum saling bertegur sapa.

Ada perjalanan cukup panjang selama hampir setahun yang kami lalui berdua sampai akhirnya kami bisa duduk berdua di depan penghulu. Sebuah proses yang melibatkan kegalauan, ketakutan, kesedihan, dan begitu banyak air mata. Tapi ada juga banyak hal-hal kecil tapi sangat manis yang dia lakukan, yang membuktikan kesungguhannya tanpa perlu banyak kata hingga akhirnya saya mendapatkan keyakinan itu. 

Dia pernah memungutkan untuk saya beberapa tangkai bunga amarylis di tepi jalan. Diam-diam meletakkan novel Aan Mansyur dan setangkai mawar merah di depan kamar saya. Menangis ketika saya marah. Menemani saya menulis puisi dan mau membacanya. Rela hujan-hujanan ke kos saya pukul 9 malam lebih hanya untuk menemani saya makan. Mau makan masakan saya walaupun rasanya tidak karuan. Mewujudkan mimpi saya menonton konser idol K-Pop di Jakarta. Ikut makan bersama teman-teman saya. Mengantarkan saya ke pernikahan teman, bahkan juga menunggu saya facial selama berjam-jam. Tidak pernah mempermasalahkan gaya hidup saya yang apa adanya: tidak pernah make-up, tidak memperhatikan model baju, pakai sandal jepit ke mana-mana. Membuat saya berani nekat travelling ke Malang naik kereta. Menemui orang tua saya dan mengajak saya menemui orang tuanya. 

Sungguh dia begitu sabar menghadapi saya yang sangat cengeng dan perasa.

Begitu restu orang tua diberikan, akhirnya semua perjalanan yang kami lalui terbayar lunas. Percayalah ketika keyakinan dan restu orang tua telah digenggam, tidak ada lagi yang mampu menghalangi selain kuasa Tuhan.

Kini, dia pun telah mengucap janji suci itu di depan Tuhan dan orang tua kami. Kehidupan kami berdua baru saja dimulai.

Rasanya bahagia dan lega luar biasa.

Yogyakarta, 8 Juni 2017

Comments

Popular Posts