Perempuan 6: Kejujuran
taken from https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/92/33/fd/9233fd1b9660c6f02870c123fc9a8981.jpg |
Kami duduk berhadapan. Secangkir black coffee di depanku. Secangkir moccachino di depannya. Aku sudah minum beberapa teguk kopiku, tapi
dia baru mengucapkan beberapa kalimat pendek seperti ‘maaf merepotkanmu’ dan
‘ini bukan urusan pekerjaan’.
Aku mendengarkan musik yang mengalun
memenuhi ruang cafe, ‘Unconditionally’ milik
Katy Perry, sambil menunggu perempuan di depanku ini membuka mulutnya lagi.
Sungguh. Aku sama sekali tidak punya gagasan tentang kenapa atau untuk apa kami
bertemu di sini.
Perempuan itu
menyeruput isi cangkirnya lagi.
Aku
meliriknya.
Namanya Rana
dan dia bukan sahabatku. Mungkin kurang tepat juga kalau dikatakan bukan
sahabat. Dulu kami satu angkatan waktu SMP, tapi lain kelas. Aku hanya sekilas
ingat wajahnya karena seingatku, kami memang jarang mengobrol. Sembilan tahun kemudian, tanpa sengaja kami
dipertemukan karena perusahaanku ada kerja sama dengan perusahaan tempat dia
bekerja.
Kemudian,
tiba-tiba saja dia memintaku untuk bertemu.
Perempuan itu
menatapku sambil menarik nafas panjang. Aku memperhatikan wajahnya yang
sederhana dengan bulu mata yang cukup lentik.
“Aku minta
maaf kalau ini akan terdengar aneh,” katanya pelan. “Aku benar-benar minta
maaf, tapi aku memang harus mengatakannya.”
Aku masih
belum punya gagasan tentang apa yang perempuan ini bicarakan. Dia bilang bukan
tentang pekerjaan, lalu tentang apa?
Dia
mengeluarkan sesuatu dari dalam tas merahnya, lalu meletakkan benda itu di atas
meja. Sebuah buku bersampul polos warna biru.
“Ini
untukmu,” katanya.
Aku mengerjap
tak mengerti.
“Ini
tulisanku untukmu selama sembilan tahun ini,” katanya lagi.
Ketidakmengertianku
berubah menjadi keterkejutan. Tulisan? Tulisan apa?
Rana sepertinya
membaca raut wajahku hingga akhirnya dia
tersenyum tipis, seperti ingin menenangkan.
“Jangan tanya
kenapa aku menulis tentangmu selama ini, aku juga tidak tahu,” katanya. Kali
ini suaranya sudah lebih tenang, tidak lagi terdengar bergetar. “Tapi
barangkali kalau kau mau membaca semua ini, kau akan mengerti.”
Aku masih
kesulitan untuk memikirkan kalimat apapun yang bisa kuucapkan, seakan-akan
semua kosakata dalam kepalaku menguap begitu saja.
“Aku
melakukan ini karena…” mendadak suara perempuan itu melirih, “kudengar kamu
akan menikah.”
Wow. Satu kejutan
lagi. Dia bahkan tahu bahwa aku akan menikah.
“Sungguh aku
tidak berniat apapun. Sejak dulu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa
aku akan memberikan semua ini padamu saat salah satu dari kita akan menikah. Aku
tidak peduli setelah ini kau akan membaca atau membuangnya, itu terserah
padamu. Yang penting bagiku, dengan memberikann semua ini, aku telah menyampaikan
perasaanku padamu dan telah siap melepaskannya.”
Sekali lagi,
Rana tersenyum. Bibirku terbuka, tapi belum juga ada satu pun kata yang bisa
kukeluarkan.
Sungguh, aku
sudah sering mendengar bahwa jalan pikiran seorang perempuan memang sulit
dimengerti, tapi baru kali ini aku benar-benar percaya pada hal itu.
Usai tersenyum,
perempuan itu bangkit. Dia berdiri di depanku yang masih mematung, memaku
mataku dengan dua matanya yang hitam.
“Selamat
tinggal,” dia berbisik.
Aku mendengar
bunyi ketukan langkah sepatunya menjauh, ketika tiba-tiba tubuhnya seperti
bergerak dengan sendirinya.
“Rana!”
Kutemukan tubuhku
telah berdiri dan bibirku memanggil namanya.
Perempuan itu
berhenti dan menoleh.
Dia menatapku.
Setengah heran, setengah menunggu.
“Terimakasih,”
kataku pelan.
Rana kembali
tersenyum. Dia mengangguk kecil sebelum kemudian berbalik dan meneruskan
langkahnya menuju pintu.
Aku merasa
lega setelah berhasil mengucapkan setidaknya satu kata itu padanya.
Apa lagi yang
bisa kukatakan pada perempuan yang tiba-tiba mengaku mencintaiku selama
sembilan tahun, jika bukan kata ‘terimakasih’?
***
Yogyakarta, 27 Maret 2017: 11.01’
Comments
Post a Comment