Aku sering
menuliskannya dalam ceritaku
“Ketika dua mata itu terpejam, jarinya
bergerak menyusur garis bulu mata, seperti ingin menghitungnya satu per satu.”
Selalu
ada perasaan ajaib sewaktu apa yang pernah kutulis pada akhirnya bisa kulakukan
sendiri dengan tanganku, bukan tangan milik namanama yang hanya bisa kuhidupkan
dalam khayalan.
Jadi seperti
itu rasanya. Ada suatu ketika di mana aku berpikir bisa menghabiskan seribu
empat ratus empat puluh menit hanya dengan duduk diam dan menggenggam jarimu.
Dan di
sanalah aku –pada suatu sore yang barangkali akan membuat kita mengingat warna
permen kapas atau ingin berjalanjalan dan makan jagung bakar. Tapi kita hanya
diam di suatu tempat kecil, anggaplah di sana terasing dari dunia, hanya punya
kita saja di mana kita purapura lupa pada apapun.
Dan kemudian
matamu terpejam di bawah tatapanku. Perasaan ajaib itu pun datang, seperti
keluar dari dalam buku dongeng. Aku mendengar napasmu –begitu dekat sekalipun
masih bertanyatanya apakah aku tengah bermimpi. Kau tidak bergerak ketika
jariku menyusuri wajahmu, berharap memoriku bisa merekamnya baikbaik jika nanti
aku lupa. Kau masih tidak bergerak ketika jariku menyentuh alismu,
bertanyatanya apa yang sedang terjadi sebenarnya. Dan aku pun melakukannya –menyusuri
bulu matamu meskipun tidak sanggup menghitungnya. Satu per satu –sembari
mengingat yang masih bisa kuingat, sembari tersenyum sebelum air mataku mulai
terjatuh, sembari merapalkan katakata maaf yang tak terdengar.
Aku memang
pendosa.
Katakanlah aku
jalang, aku tidak akan punya pembelaan.
Bahkan sekalipun
begitu, aku masih merasa aku bisa terjaga sepanjang malam hanya untuk melihatmu
terpejam, untuk mendengarkan napasmu, untuk menyusuri bulu matamu –berkalikali,
hingga kau terbangun dan tersenyum: padaku, wajah pertama yang kau temukan. Tapi
begitu mimpimu berakhir, aku mesti pergi. Sebab aku juga terbangun dari mimpi: bahwa
kau, aku, kita, dengan sadar telah menyakiti diri kita sendiri.
Kebumen, 29 Desember 2015: 11.26’
Comments
Post a Comment