Tujuh Hari Kedelapanbelas: Sahabat Selamanya
Pada hari Senin kami harus memutuskan siapa yang akan
praktik mengajar pada hari terakhir diklat. Satu kelompok sepakat untuk
memojokkan Mr. A yang sempat bercanda bahwa dia akan bolos hari berikutnya
(tapi mustahil sekali dia akan melewatkan oleh-oleh
yang akan diberikan di hari terakhir). Maka sebelum dia menjawab ‘iya’,
saya sudah sibuk sendiri dengan membaca RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
miliknya, merancang Lembar Kerja yang diperlukan serta berdiskusi dengan
anggota kelompok lain mengenai media yang akan digunakan. Dengan begitu dia
tidak bisa mengelak lagi! (tersenyum licik)
Kami siap dengan lembar kerja dan beberapa media (tempe
plastik dan potongan kertas asturo untuk materi konsep pecahan) keesokan
paginya. Mr. A memang selalu datang terlambat, tapi pagi itu dia lebih
terlambat dibanding biasanya. Sewaktu undian dikocok untuk menentukan kelompok
yang akan maju pertama, firasat saya mengatakan nomor kelompok kami akan
keluar. Benar saja! Padahal dia belum datang hingga akhirnya undian diulang
sekali lagi. Ketika perwakilan kelompok lain sudah mulai praktik mengajar,
orang yang kami tunggu-tunggu datang dengan wajah tidak berdosanya (ternyata
dia balik ke rumah lagi mengambil flashdisk yang ketinggalan). Sebagai hukuman,
dia menyanyikan lagu ‘pelangi-pelangi’ dan seisi kelas tertawa: dia benar-benar
tampak seperti bocah.
Akhirnya dia pun mengajar di depan kelas dan saya tidak bisa
berhenti tertawa. Apapun yang dia lakukan rasa-rasanya lucu sekali.
Diklat pun berakhir dengan manis (dengan foto-foto bersama
dan jatah uang saku yang lumayan untuk membeli bensin). Saya mampir ke Jokteng
untuk memberikan konsumsi diklat hari itu pada keponakan-keponakan saya.
Sorenya kelompok saya janjian untuk karaokean dan buka puasa bersama (sayang
ada satu anggota yang tidak bisa ikut). Pukul empat lebih saya sudah sampai di
salah satu tempat karaoke di dekat perempatan Jakal (akhirnya saya karaoke di
Jogja!). Kami berempat nyanyi-nyanyi tidak jelas (dan tidak satu pun yang
benar-benar punya bakat tarik suara). Usai sholat magrib (di tempat itu juga),
kami pergi untuk makan di salah satu warung steak. Ternyata, warung yang sama
ada dua tempat: satu di utara perempatan Jakal, satunya lagi di selatan. Saya
dan mba Putri malah pergi ke selatan dan dua teman kami pergi ke utara.
Akhirnya saya dan mba Putri hanya numpang parkir di halaman warung sebelum
kemudian pergi lagi (dan mas-mas parkirnya tidak mau menerima uang parkir,
makasih ya mas :D).
Rasanya perut saya sampai pegal karena terus tertawa. Selama
enam hari ini saya sudah menemukan teman-teman baru yang begitu baik. Satu lagi
pelajaran: jangan menolak kesempatan untuk hal baik yang diberikan.
Hari berikutnya saya datang ke sekolah, sekedar ikut piket
dan ngobrol-ngobrol. Niza sudah datang dari Kebumen dan saya minta dia menunggu
dulu (dia naik motor sendiri dan hanya tersesat satu kali!). Viyun, Vona, Tya
dan Dewi menyusul datang. Sore itu kami ngabuburit di sekitar Masjid Kampus UGM
(akhirnya!). Saking banyaknya makanan, saya jadi bingung dan akhirnya hanya membeli
es pisang ijo dan bakso tusuk. Kami ngemper di rerumputan sambil makan, ngobrol
dan kemudian sholat di masjid kampus. Saya merekomendasikan warung mi aceh
langganan saya untuk buka puasa dan ternyata hampir semuanya tidak sanggup
menghabiskan porsi mi-nya (hahaha maaf ya, kawan). Malam itu Niza dan Viyun
menginap di kos saya sementara Tya dan Vona ikut ke kos Dewi.
Kamis paginya saya pergi ke sekolah lagi. Kami berencana
pergi ke De Mata trick eye museum siang
itu, jadi saya bertanya rutenya pada rekan-rekan di sekolah. Ternyata tidak
terlalu jauh. Saya pulang ke kos, Niza dan Viyun sudah siap. Saya pun ikut
bersiap, tapi ternyata terjadi sedikit misscom
sehingga kami menunggu rombongan dari Gamping sampai dhuhur. Dandanan
(padahal ya nggak dandan juga sih)
pun harus kami ulang lagi karena mesti wudhu untuk sholat (yang penting sudah
sempat selfie).
De Mata ada di XT Square, dekat-dekat kebun binatang Gembira
Loka. Rute gampang yang saya tahu adalah lewat UIN, jadi kami pun lewat jalan
itu dan alkhamdulillah tidak tersesat. Tiket masuk 25 ribu untuk satu orang.
Lumayan menarik juga berfoto-foto dengan latar tiga dimensi yang unik-unik. Paling
senang karena ada Messi juga di sana!
Lelah foto-foto, kami pindah lokasi ke Malioboro (Dewi ingin
membeli mukena di Beringharjo). Kali ini kami mengandalkan GPS dan
alkhamdulillah juga tidak tersesat. Sementara Dewi pergi ke pasar, kami
jalan-jalan di salah satu toko busana muslim. Setelah lelah sendiri, kami
nongkrong di nol kilometer (nggak
ngapa-ngapain, nongkrong doang). Di situlah kami bingung memutuskan untuk
buka puasa di mana sampai akhirnya waktu buka puasa itu sendiri semakin
mendekat. Saya dan Dewi tidak terlalu paham tempat-tempat makan di sekitar
Malioboro (dan ketika browsing malah
kami selalu gagal fokus). Akhirnya, menurut usul Dewi, kami memutuskan untuk
makan di sebuah warung sambal-sambalan di dekat Jokteng Kulon. Tempatnya masih
agak sepi jadi kami bisa leluasa. Di sanalah kemudian saya juga mengambil
sebuah keputusan penting: membeli ponsel baru (sudah mupeng dari
kemarin-kemarin). Dilandasi niat dari lubuk hati terdalam, berbagai macam
pertimbangan dan juga kehadiran teman-teman, akhirnya saya pun membulatkan
tekad.
Yes!!!
Usai sholat kami langsung cabut ke Ambarukmo Plaza. Singkat
cerita, ponsel incaran saya selama berbulan-bulan itu pun akhirnya sampai di
tangan! (menangis haru).
Malam itu rasanya lelah sekali. Tapi saya masih sanggup
bangun pagi, mencuci baju dan siap-siap mudik ke Kebumen bersama Niza. Saya
nebeng naik motornya dan menjadi kesemutan sampai di Soka Baru. Adik saya
datang menjemput dan saya buka puasa di rumah!
Rasanya benar-benar menyenangkan. Tarawih di masjid yang
sama yang saya kunjungi sejak kecil, bersama ibu menyusun menu buka dan sahur
(kalau saya ada di rumah, urusan makanan jadi lebih ribet karena banyak makanan
yang saya nggak doyan), jalan-jalan
pagi, mendengarkan suara adzan bapak dari speaker masjid, melihat matahari
terbenam di ujung pohon-pohon kelapa.
Bahagia itu sederhana.
Bertemu sahabat, bertemu keluarga.
Terimakasih teman-teman, kalian memang harta tak ternilai
dalam hidup saya.
Dan Ibu, pelukanmu yang selalu menenangkan, selalu menjadi
surga kecilku.
Kebumen,
5 Juli 2015
Comments
Post a Comment