Aku, Karou dan Kamu
“Yang pertama terlintas
dalam benaknya, ganjil tapi melumpuhkan adalah Karou harus mengingatnya agar
bisa melukisnya nanti.”
Itu yang dipikirkan Karou ketika melihat Akiva berdiri di
depannya dengan jelas: sepasang sayap lebar dari api yang tidak berasap dan
mata yang seperti sumbu, membakar udara. Ya, Akiva bisa disebut sebagai “malaikat”,
setidaknya dalam novel dia digambarkan seperti itu: sempurna, tanpa
cacat-selain luka-luka bekas perang dan tanda kematian di jari-jarinya- dan
tentu saja luar biasa mempesona meskipun pada awalnya dia memiliki wajah tanpa
ekspresi dan tidak pernah sekalipun tersenyum.
Aku tidak bercerita tentang novel itu (judulnya “Daughter of
Smoke and Bone”, kalau kau mau tahu) meskipun secara keseluruhan kisahnya
–campuran konflik dan romantisme- luar biasa menarik dan mengagumkan. Dan pada
bagian kecil dalam novel itu, pada satu kalimat yang kutuliskan di awal, aku
menemukan diriku sendiri pada versi lain: aku ketika melihatmu. Bedanya, jika
Karou berpikir untuk melukis Akiva, aku berpikir untuk “menulismu.” Tentu saja
kau bukan malaikat, tapi kau adalah jenis manusia yang membuatku ingin menulis
sesuatu yang kuniatkan sebagai puisi atau sajak atau apa saja ketika melihatmu
–oh, bahkan hanya dengan “membayangkanmu” saja aku bisa memiliki keinginan itu
–seperti sekarang, misalnya.
Tapi anehnya, hari itu, meskipun aku begitu senang (kalau
meminjam istilah novel itu: ada tarian kupu-kupu dna gelenyar kembang api
sekaligus dalam perutku) aku tidak menuliskan apa-apa selain uacapan
terimakasih pada takdir yang mengejutkan. Sepanjang jalan pulang, aku sibuk
tersenyum pada siluet pepohonan dan tidak bisa memikirkan hal lain selain rasa
syukur atas persekutuan semesta yang telah menjalin sulur-sulur takdir yang
begitu rumit di antara kita hingga akhirnya bisa dipertemukan: dengan nyata,
dengan sentuhan, dengan sisa gema suaramu yang begitu dekat.
Entah apakah kau menyadarinya: ekspresi girang yang
berlebihan di wajahku, semua pembicaraan tidak penting yang hanya kucari-cari
untuk mengulur waktu dan tentu saja keberanianku memanggil namamu dan mendekat
begitu saja seolah-olah kita sudah bertemu puluhan kali sebelumnya. Aku
beruntung kita tidak berada dalam dunia komik, karena kalu iya, pasti mataku
sudah terlihat berbinar-binar dengan rona merah samar di wajah dan lambang hati
menari-nari di sekelilingku.
Ada beberapa tulisan yang merupakan usahaku untuk
mengawetkanmu lebih lama dalam ingatan, meskipun mungkin jika itu adalah lagu,
maka nadanya akan terdengar ganjil dan sumbang. Kau tidak harus mendengarnya.
Aku ingin kau tinggal sebagai puisi, anggun dan mempesona dengan caramu
sendiri, terus tercetak seperti itu dalam benakku yang penuh kegilaan. Perasaan
ini, jika ia punya nama, adalah semacam perpaduan kekaguman dan cinta yang
tidak beralasan (entah apakah itu layak disebut “cinta” dalam pengertian yang
normal). Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa melakukannya dengan cara
seprti ini adalah pilihan terbaik: menulis diam-diam dan menafikkan harapan kau
akan membacanya suatu hari nanti. Ini sudah lebih dari cukup indah.
Karena satu dan lain alasan, lebih baik bagimu untuk tidak
mengetahuinya.
13 Desember 2012: 02.37 p.m.
Comments
Post a Comment