Hanya di Atas Kertasku
Karena hanya dalam kertasku dia akan jadi milikku.
Milikku sendiri.
Karena di sana aku bisa membuatnya jadi apapun yang aku mau.
Tanpa ada protes. Tanpa ada sela.
Aku menguasainya. Untukku sendiri.
Karena hanya di atas kertas, aku bisa membawanya kembali.
***
“Jadi....dia itu orang yang seperti apa?”
Mata gadis di depanku berbinar-binar penuh rasa ingin tahu. Aku tergagap. Orang seperti apa?
Dia masih menatapku dan menunggu jawaban. Aku memegang cangkir kopi di meja dan berharap kehangatannya bisa menyalurkan semacam kekuatan untukku, tapi akhirnya aku malah hanya memandangi cairan kental berwarna hitam itu.
Dulu dia selalu mengatakan bahwa menyukai kopi adalah hal yang aneh dari seorang perempuan. Lalu aku selalu balik bertanya,” Apakah ada hal yang tidak aneh dariku?” Kemudian dia tertawa dan menjawab,”Tidak.”
Sekarang gadis di depanku bertanya tentangnya, memintaku menceritakan orang seperti apa dia itu. Aku sendiri jadi berpikir, benar, orang seperti apa dia itu?
Beralih dari cangkir kopi, aku memperhatikan jalanan di luar. Ada banyak orang lewat. Ada banyak kendaraan melintas. Barangkali saja salah satu di antara mereka adalah dia, orang yang sedang ditanyakan gadis di depanku ini. Kalau gadis ini benar-benar ingin tahu, mungkin lebih baik dia menemui sendiri orang yang membuatnya penasaran itu, sehingga dia bisa membuat penilaian. Tapi aku yakin itu adalah hal yang mendekati mustahil.
“Apakah dia orang yang sangat cerdas?” Gadis itu bertanya lagi karena aku masih diam. Aku memandang wajahnya yang selalu terlihat ceria sejak pertama kali aku bertemu dengannya.
Cerdas? Tidak juga. Dia biasa-biasa saja, bahkan dia selalu merendah dan mengatakan bahwa akulah yang pintar baginya. Sejak pertama aku tidak terkesan pada kecerdasannya. Tidak.... Bukan itu.
Wajahnya yang datar dan tidak terbaca tiba-tiba muncul dalam otakku. Aku mengingat rambut hitamnya yang lurus, yang membuatku selalu ingin menyentuhnya. Dia tidak suka jika rambutnya terlalu pendek, tapi juga tidak membiarkan rambutnya tumbuh terlalu panjang.
“Apakah dia orang yang romantis?”
Gadis itu belum menyerah juga. Sejak awal dia begitu antusias untuk mengetahui seperti apa orang yang telah menjadi inspirasi bagi tulisan-tulisanku. Sedikit tulisan, sebenarnya. Salah satu cerpenku yang pernah dimuat di sebuah surat kabar ternyata terpilih untuk masuk ke dalam antologi cerpen tahunan surat kabar itu. Dan gadis ini, gadis yang sedang duduk di depanku sekarang, adalah salah satu orang yang telah membaca cerpen itu. Tapi dari sekian banyak orang, hanya dialah yang begitu tertarik hingga dia bahkan terlihat sangat senang ketika tanpa sengaja bertemu denganku di sebuah acara bedah buku baru seorang penulis yang kukagumi.
“Benar? Kakak yang menulis cerpen ‘Di Ujung Senja Terakhir’ itu, kan?”
Matanya berbinar-binar ketika pertama kali kusebutkan namaku saat duduk di sampingnya pada acara itu. Dia masih memakai seragam putih abu-abu. Mungkin dia adalah seorang remaja yang sedang menyukai cerita-cerita romantis, batinku. Dan di sinilah kami sekarang, duduk menghadap secangkir kopi dengan aku yang sedang mencoba merangkai jawaban untuk bocah penasaran yang ada di depanku ini.
“Benar kan, dia pasti orang yang romantis,” gadis itu membuat kesimpulan sendiri.
Tidak... Dia tidak romantis. Dia bahkan mengaku dia tidak akan bisa menuliskan puisi untukku, meskipun entah sudah berapa puisi yang kuberikan padanya. Kadang aku berpikir dia pasti bosan dengan puisi-puisiku yang kadang tidak dia pahami meskipun aku menuliskan tentang dia sendiri. Karena hanya membayangkannya saja, aku bisa menulis begitu panjang.
Dia selalu berkata, cinta bukan berarti bunga mawar dan bertemu setiap minggu malam. Dan memang begitulah cinta kami, dia selalu mengartikan romantisme dengan caranya sendiri, mengungkapkannya dengan bahasanya sendiri.
“Jadi... Dia pasti orang yang mengagumkan, dengan keyakinan yang kuat dan bisa dijadikan tempat bersandar.”
Aku tidak tahu darimana gadis kecil ini bisa mendapatkan kata-kata semacam itu. Mau tidak mau aku tersenyum melihatnya yang tiba-tiba menjadi sok dewasa. Tapi apakah dia memang seperti yang gadis ini katakan?
Memang, aku membutuhkannya sebagai tempat berbagi untuk beberapa hal. Meskipun dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelesaikan masalahku, setidaknya aku merasa lebih lega mengetahui bahwa dia ada untuk mendengarkan dan menenangkanku. Tapi dia bukan orang yang selalu yakin pada dirinya sendiri, kadang dia bahkan terlihat begitu bimbang dengan pilihan. Mungkin karena itulah aku merasa dibutuhkan. Aku merasa aku harus menjaganya, memastikan bahwa dia berada dalam keadaan yang baik dan tepat. Aku sering merasa takut jika dia tidak lagi membutuhkanku.
“Hmmm.... Dia pasti punya senyum yang mempesona.”
Aku tersenyum sambil menunduk. Ya, tentu saja jika kau menyukai seseorang kau akan menganggap senyumnya begitu indah. Bukan hanya senyumnya, tapi semuanya, kan? Ketika terakhir kali kami bertemu, aku begitu takut menatapnya lama-lama. Wajah yang tetap datar dan tak terbaca itu, masih saja sama. Ketika dia akhirnya pergi, bukan senyumnya yang tertinggal di ingatanku, tapi matanya. Aku terkejut merasakan bahwa mata itu telah menyadarkanku tentang satu hal: aku masih saja menyukainya, menyukai tatapannya yang sayu itu.
Gadis itu tampaknya sedang berpikir lagi.
“Atau mungkin....dia orang yang sangat ramah dan terbuka.”
Aku mendekatkan cangkir ke bibirku dan meneguk isinya. Masih hangat. Aku menyukai kopi, tapi dia tidak. Aku tidak pernah membuatkan kopi untuknya. Butuh waktu begitu lama untuk mengetahui banyak hal tentangnya, apa yang dia suka, bahkan bagaimana cara dia bicara. Semua berjalan pelan bersama waktu, hingga akhirnya aku bisa melihatnya sebagai orang yang berbeda, bukan seorang yang pendiam dan pemalu seperti ketika pertama kali mengenalnya.
“Baiklah...,” gadis itu mencoba usaha terakhirnya,”Kalau begitu dia pasti adalah orang yang sangat mencintaimu.”
Aku meremas jari-jariku. Dulu, dulu sekali, aku juga memikirkan hal yang sama. Aku bahkan sangat percaya dia tidak akan mampu membiarkanku pergi. Ternyata manusia begitu rapuh hingga membutuhkan kehadiran manusia lain yang mengakui keberadaannya. Aku hanya lupa pada satu hal, satu hal yang penting, bahwa dia juga manusia biasa yang punya kemampuan untuk menyakiti. Tadinya aku tidak tahu dia juga bisa melakukan hal itu. Ketika akhirnya aku dipaksa untuk percaya, aku hanya bisa tertawa getir, menertawakan kebodohanku sendiri.
“Jadi... Dia itu orang yang seperti apa?”
Gadis itu tampak putus asa. Apa yang bisa kukatakan? Ternyata meskipun telah merasa mengenalnya, aku sendiri tidak yakin dia itu orang yang seperti apa. Dia bukan orang yang sangat cerdas. Dia tidak romantis. Dia bukan orang yang selalu percaya diri. Dia pendiam. Dia punya wajah datar dan tatapan lugu yang tidak terbaca.
Aku menghabiskan kopi di cangkirku.
Kutatap wajah gadis yang duduk di depanku. Aku tersenyum padanya dan mengucapkan satu-satunya kalimat yang terpikirkan olehku untuk semua pertanyaan-pertanyaannya.
“Dia hanya seseorang yang pernah membuatku jatuh cinta.”
***
Beringin 17, 20 Maret 2012: 20.24’
Jongmal bogoshiepo, mi....
Comments
Post a Comment