Sebuah Catatan Perjalanan
“Itu pohon apa ty?”
Aku dan Niza langsung heboh menunjuk-nunjuk deretan tanaman
di ladang belakang rumah Tyul. Tanaman itu tidak begitu tinggi, daunnya
juga terlihat tidak terlalu lebar dengan
segerombol bunga di pucuknya. Anehnnya, yang punya rumah malah menjawab: tidak
tahu.
![]() |
ladang tembakau dengan background gunung-entah sindoro atau sumbing |
Maka ketika keenam teman kami sudah masuk ke rumah Tyul, aku
dan Niza langsung menjelajahi ladang itu seperti dua orang bocah yang belum
pernah melihat ladang sebelumnya. Ini aneh sekali, karena sejak kecil aku sudah
akrab dengan sawah, bahkan ada sebuah sawah luas di samping rumahku. Tapi kali
ini lain, sebab akhirnya kami menemukan bahwa tanaman itu adalah: tembakau. Ya,
pohon tembakau yang kami cari-cari sejak kemarin.
![]() |
nampang di ladang tembakau |
Maka selanjutnya kami heboh sendiri seperti dua makhluk
asing yang belum pernah melihat pohon tembakau (meraba-raba daunnya yang
ternyata lengket, menciumi bunganya, foto-foto sampai ditertawakan
teman-teman). Tentu saja sebenarnya aku sudah pernah melihatnya ditanam di
pinggir sawah di desaku, tapi hanya beberapa pohon saja, dan yang jelas aku
belum pernah memperhatikan bunganya. Maka sejak dua tahun yang lalu aku tinggal
serumah dengan orang-orang Temanggung, obsesi terbesarku jika berkunjung ke
sana adalah: melihat ladang tembakau. Teman-teman dari Temanggung selalu
mengatakan betapa dinginnya udara di sana dan menceritakan tentang panen
tembakau yang kelihatannya unik sekali. Sebab selama ini aku hanya tahu tentang
panen padi, cabai, sayuran, atau kacang hijau.
Maka ketika pertama kali menginjakkan kaki di Temanggung,
hari Minggu kemarin tanggal 7 Oktober, aku sudah tidak sabar untuk melihat
ladang tembakau itu. Hal pertama yang terlintas di pikiranku ketika turun dari bus adalah:
Kebumen. Ya, kota ini mirip dengan Kebumen dalam beberapa hal: jalan rayanya,
alun-alunnya, pohon-pohon di tepi jalan, suasananya. Jadi aku merasa seperti
ada di rumah sendiri.
Langit agak mendung ketika kami
bertiga naik angkot ke rumah Marita, tempat persinggahan pertama kami. Kami
berjalan melewati ladang, tapi sayang sekali, yang tersisa di sana hanya
tumpukan batang-batang tembakau karena ternyata waktu panen sudah lewat. Di
depan beberapa rumah kami melihat daun tembakau yang sedang dijemur.
Sore itu kami lewatkan dengan
kembali lagi ke Temanggung untuk mencicipi bakso uleg yang selama ini sering
dipamerkan oleh teman-teman dan mampir ke rumah Pipin yang tidak jauh dari
warung bakso itu. Hujan lebat turun ketika kami baru saja naik angkot untuk
kembali ke rumah Marita. Memang sebuah kota yang nyaman. Begitu banyak ladang
dengan banyak tanaman, sayang sekali hanya terlihat beberapa pohon tembakau
yang masih kecil di ladang-ladang itu.
Maka ketika esok harinya
setelah menginap di rumah Gesta kami menemukan ladang tembakau di belakang
rumah Tyul, bisa dibilang kami merasa perjalanan ini sudah terlengkapi. Dengan
latar belakang gunung Sindoro-Sumbing di kejauhan, bunga-bunga tembakau di
ladang itu terlihat lebih dari sekedar menarik. Sulit sekali untuk dipercaya
bahwa daun dari pohon itu bisa menjadi candu yang sangat berbahaya.
Destinasi kami selanjutnya
adalah rumah Lina dan rumah Viyun. Sama
seperti di Kebumen, ada begitu banyak ladang di Temanggung, tapi yang berbeda
dengan desa-desa di Kebumen adalah: perumahan di sini begitu rapat, seperti
tidak ada jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain. Aku tidak tahu apakah
semua rumah di Temanggung seperti ini. Yang jelas, sangat menyenangkan melihat
ladang dan pohon-pohon dengan latar belakang dua gunung di kejauhan. Dan satu
hal lagi yang sangat kusukai: aku melihat begitu banyak morning glory di tepi
jalan.
Sekitar pukul 2, kami naik bus ke Magelang untuk selanjutnya
naik bus ke Semarang. Langit agak mendung. Sebenarnya aku ingin sekali
memperhatikan ladang dan pohon-pohon di tepi jalan, tapi sayang sekali naik bus
jurusan Sukerejo-Magelang itu seperti naik jet coaster, sehingga aku lebih
banyak merasa ketakutan dibanding mengagumi pemandangan di luar. Sungguh lebih
sensasional daripada naik bus ekonomi jurusan Semarang-Purwokerto.
Perjalanan singkat kami pun
berakhir sore itu.
Hujan lebat turun tidak lama setelah kami naik bus jurusan
Semarang. Aku berharap suatu hari bisa kembali lagi ke Temanggung untuk melihat
pohon tembakau yang lebih besar dan lebih banyak.
Semarang, 11 Oktober 2012: 15.56’
*Banyak terimakasih dan peluk
cium untuk teman-teman terbaik yang sudah rela meluangkan waktu menemaniku
jalan-jalan di Temanggung (ita, gesta, pipin, tyul, yayang, mba dewi, lina,
viyun). Terimakasih telah menyediakan
tempat berteduh (halaah) dan juga menjadi tour guide yang baik.
Comments
Post a Comment